Rabu 28 Jul 2021 17:05 WIB

Sistem Canggih, Kenapa China Masih Alami Banjir Parah?

China dikenal memiliki sistem dan teknologi mumpuni untuk mencegah banjir.

 Orang-orang berjalan di jalan yang banjir setelah hujan deras yang melanda kota Zhengzhou di provinsi Henan, China tengah, Selasa, 20 Juli 2021 (dikeluarkan 21 Juli 2021). Banjir besar di China Tengah menewaskan 12 orang di kota Zhengzhou akibat curah hujan kemarin, 20 Juli 2021,
Foto:

Apakah ini dampak dari perubahan iklim?

Beban bendungan China kemungkinan akan bertambah karena perubahan iklim membuat peristiwa cuaca ekstrem lebih sering terjadi.

Saat atmosfer Bumi menjadi lebih hangat, maka atmosfer menahan lebih banyak uap air, yang membuat hujan lebih deras. Hal ini diangkapkan Benjamin Horton, direktur Observatorium Bumi Singapura, kepada kantor berita AFP.

Level permukaan air mencapai rekor ketinggian di 53 sungai di China selama musim panas tahun lalu. Pihak berwenang juga memperingatkan Bendungan Tiga Ngarai menghadapi puncak banjir terbesar sejak mulai beroperasi pada tahun 2003.

Li Shuo, seorang analis iklim untuk Greenpeace Asia Timur, mengatakan kepada AFP bahwa banjir menjadi peringatan tanda bahaya bagi Cina bahwa perubahan iklim sudah terjadi di sini.

Bisakah Sponge City atau 'kota spons' membantu?

Pembangunan dan urbanisasi yang pesat juga memperburuk banjir. ‘Pembengkakan kota' telah menutupi semakin banyak permukaan tanah dengan beton kedap air. Hal ini tentu saja meningkatkan risiko penumpukan air yang cepat di permukaannya selama hujan lebat, tanpa ada celah untuk mengalirkan air. Horton juga mengatakan bahwa beberapa danau besar di negara itu telah berkurang ukurannya secara drastis.

Salah satu solusi pemerintah adalah program "kota spons" yang dimulai pada tahun 2014. Sistem ini berusaha untuk menggantikan permukaan perkotaan yang kedap air dengan bahan berpori - trotoar resap air, lebih banyak ruang hijau, area drainase dan waduk.

"Tujuannya adalah agar air hujan masuk ke saluran air atau area hijau," kata  Cecilia Tortajada, peneliti kebijakan air di National University of Singapore kepada AFP.

 

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement