REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Saat berselancar di internet, beberapa web atau laman biasanya akan meminta sejumlah informasi dasar seperti alamat e-mail. Meski tampak tak berbahaya, membagikan e-mail ke suatu situs atau aplikasi bisa memberikan dampak yang signifikan.
Bagi pengiklan, pemilik situs, atau pembuat aplikasi, alamat e-mail atau surel bukan hanya kontak untuk menghubungi pengguna. Mereka bisa menggunakan alamat surel sebagai "remahan" digital yang memungkinkan perusahaan mengetahui aktivitas pemilik surel di berbagai situs dan aplikasi. Dengan begitu, mereka nantinya bisa memunculkan iklan yang relevan.
Praktik seperti ini sudah tak asing lagi di industri periklanan digital. Selama puluhan tahun, industri periklanan digital kerap bergantung pada pelacak tak terlihat yang ditanamkan ke dalam situs atau aplikasi untuk menelusuri aktivitas pengguna. Mereka lalu menjadikan pengguna sebagai target iklan.
Seiring waktu, beberapa perusahaan besar telah merilis fitur yang dapat melindungi pengguna dari pelacakan tak terlihat ini. Pada 2021 misalnya, Apple merilis sebuah fitur yang memungkinkan pengguna iPhone untuk memblok aplikasi yang melacak aktivitas mereka.
Google juga akan menghalau situs-situs untuk menggunakan cookies di mesin pencari Chrome pada 2024. Selama ini, cookies kerap dimanfaatkan untuk memantau aktivitas orang-orang di dunia maya.
"Penjegalan" ini membuat pihak pengiklan, pemilik situs, dan pembuat aplikasi mencari jalan lain untuk bisa terus memantau aktivitas orang-orang di internet. Salah satu jalan baru yang mereka lakukan adalah menanyakan alamat surel.
Disadari atau tidak, alamat surel bisa mengungkapkan banyak informasi mengenai si pengguna. Hal ini mungkin terjadi karena satu alamat surel bisa terhubung dengan berbagai data, mulai data mengenai sekolah atau tempat kerja, jenis mobil yang dikendarai, hingga etnis pengguna.
"Saya bisa menemukan data yang mungkin tak Anda sadari telah Anda berikan kepada sebuah perusahaan (bila memberikan alamat surel)," jelas Chief Executive Modern Impact, Michael Priem, seperti dilansir Strait Times.
Salah satu teknologi yang kini menyita perhatian adalah sebuah kerangka periklanan bernama Unified ID 2.0 atau UID 2.0. Kerangka periklanan ini dikembangkan oleh perusahaan teknologi asal California, Amerika Serikat, bernama The Trade Desk.
Contoh cara kerja UID 2.0 dimulai dengan seorang konsumen membuka sebuah situs berbelanja sneaker yang menggunakan UID 2.0. Saat membuka situs tersebut, sebuah layar pop up akan muncul dan meminta konsumen mengisi alamat surel mereka. Mereka juga akan diminta untuk setuju menerima iklan yang relevan dengan minat mereka.
Setelah konsumen memasukkan alamat surel mereka, UID 2.0 akan mengubahnya menjadi sebuah token yang terdiri dari rangkaian angka dan huruf. Token ini akan terus konsumen mengikuti kapan pun mereka menggunakan alamat surel yang sama untuk masuk ke aplikasi lain yang juga menggunakan UID 2.0.
Setelah berselancar di situs berbelanja sneaker misalnya, konsumen tersebut menggunakan surel yang sama untuk masuk ke aplikasi streaming. Nantinya, pihak pengiklan bisa menghubungkan akun konsumen di situs berbelanja sneaker dengan akun konsumen di aplikasi streaming berdasarkan token. Hal ini akan membuat konsumen melihat iklan-iklan terkait sneaker saat sedang membuka aplikasi streaming. "Internet nyatanya sama sekali tidak gratis," ujar Chief Marketing Officer The Trade Desk, Ian Colley.