Rabu 02 Jun 2021 11:06 WIB

Terlalu Sering Zoom Buat Banyak Orang tak Pede dengan Wajah

Terlalu sering menggunakan Zoom munculkan fenomena Zoom dysmorphia.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Aplikasi Zoom (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Aplikasi Zoom (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terlalu sering menggunakan aplikasi konferensi video ternyata berdampak pada perilaku sosial. Banyak orang yang tidak percaya diri dengan wajah mereka hingga menyebabkan Zoom dysmorphia. 

Zoom dysmorphia adalah bentuk gangguan dysmorphic tubuh, lebih khusus lagi dysmorphia wajah. Ini adalah kondisi di mana seseorang memi liki persepsi yang salah tentang fitur wajah mereka.

Baca Juga

Laporan di International Journal of Women's Dermatology Januari lalu menyebutkan lebih dari separuh profesional medis yang disurvei memperhatikan peningkatan pasien yang mencari konsultasi kosmetik, dibandingkan waktu sebelum pandemi. Sebanyak 86 persen dari mereka mengungkapkan, para pasien menyebut panggilan konferensi video sebagai alasan untuk mempertimbangkan perubahan pada penampilan mereka.

Menurut artikel BBC pada September 2020, British Association of Aesthetic Plastic Surgeons mengungkapkan, para dokternya melaporkan peningkatan permintaan konsultasi virtual hingga 70 persen selama tahap awal pandemi.

Dr Zama Tladi selaku kepala klinik estetika medis di Pretoria, Afrika Selatan, mengatakan, kepada InsideHook bahwa dia juga mengamati peningkatan signifikan pada klien yang meminta perubahan pada penampilan mereka. Tren ini mengindikasikan, mereka didorong oleh ketidakpuasan dalam cara mereka melihat diri mereka sendiri selama melakukan panggilan konferensi video.

Tladi mengungkapkan, banyak klien yang memintanya untuk menghilangkan garis di sekitar mulut mereka, atau biasa disebut lipatan nasolabial. "Beberapa orang lain mengeluh tentang kerutan yang ada di dekat mata mereka," lanjutnya.

Sementara itu, beberapa kliennya juga melihat adanya masalah dengan pigmentasi kulit. Mereka pun lebih suka menjalani semacam prosedur untuk "memperbaikinya" secara permanen daripada terus merias wajah.

Bagian dari Gangguan Dismorfik Tubuh

Bagi orang yang hidup dengan body dysmorphic disorder (BDD), jenis perilaku ini sebenarnya bukanlah hal baru. Kondisi pandemi ternyata telah menghasilkan cara baru untuk gejala BDD terwujud.

Menurut Fugen Neziroglu, PhD, seorang psikolog bersertifikat dan direktur eksekutif dari pusat perawatan dan penelitian Bio Behavioral Institute di Long Island, New York, perilaku para penderita BDD biasanya dapat dilihat dari kebiasaannya yang terus-menerus mengaca.

"Banyak orang mengira mereka narsistik, tapi justru sebaliknya. Orang-orang ini merasa sangat jelek dan mereka ingin bersembunyi dari orang lain," ujarnya.

Neziroglu menambahkan, orang-orang ini memiliki gagasan tentang bagaimana mereka ingin terlihat dan berupaya mengejar cara apa pun agar dapat mengubah penampilannya. Hal ini bisa dilakukan dengan operasi kosmetik atau pilihan yang lebih terjangkau. Misalnya, dengan terus-menerus mendorong hidung mereka atau merapikan gigi dengan kikir kuku. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement