Senin 24 May 2021 13:06 WIB

Kelelahan Video Zoom Picu Stres, Ini Tips Mengatasinya

Obrolan video terus-menerus di waktu real time juga sangat melelahkan.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/Setyanavidita Livikacansera/ Red: Dwi Murdaningsih
Aplikasi Zoom (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Aplikasi Zoom (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panggilan video kini menjadi alternatif berkomunikasi selama pandemi. Namun, dengan berbagai kegiatan bersosialisasi dan bekerja yang mengharuskan kita terus-menerus meng hadap layar, yang kemudian memunculkan digital fatigue.

Didorong oleh ledakan baru-baru ini dalam konferensi video, Profesor komunikasi Jeremy Bailenson selaku direktur pendiri Stanford Virtual Human Interaction Lab (VHIL) memeriksa konsekuensi psikologis dari menghabiskan berjam-jam setiap hari di platform ini.

Baca Juga

"Pertemuan virtual telah meroket, dengan ratusan juta sesi terjadi setiap hari, karena protokol jarak sosial telah memisahkan secara fisik," ujar Bailenson.

Dalam artikel peer-review pertama yang secara sistematis mendekonstruksi kelelahan Zoom dari perspektif psikologis, yang diter bitkan dalam jurnal Technology, Mind and Behavior pada 23 Februari, Bailenson menilai Zoom dari berbagai aspek teknis individual nya.

Ia pun mengidentifikasi empat konsekuensi dari obrolan video berkepanjangan yang, menurutnya, berkontribusi pada munculnya sindrom "kelelahan Zoom".

Bailenson menekankan tujuannya lebih untuk menyoroti bagaimana penerapan tekno logi konferensi video saat ini memang begitu melelahkan. "Konferensi video adalah hal baik untuk komunikasi jarak jauh, tetapi pikirkan tentang juga mengenai dampaknya," kata Bailenson, dilansir dari Stanford News, Selasa (18/5).

Pertama, dalam setiap konferensi video, biasanya kita melakukan kontak mata jarak dekat yang sangat intens. Dalam pertemuan normal, orang akan melihat pembicara, mencatat atau mencari tempat lain. Namun, pada panggilan Zoom, semua orang melihat semua orang, sepanjang waktu.

Sumber stres lainnya adalah bergantung pada ukuran monitor. Ketika wajah seseorang tampak sedekat itu dengan wajah kita dalam kehidupan nyata, otak akan menafsirkannya sebagai situasi intens yang akan mengarah pada konflik.

Oleh karena itu, menurut Bailenson, sampai platform mengubah antarmuka mereka, sebaiknya ketika melakukan Zoom out dari opsi layar penuh dan mengurangi ukuran jendela Zoom.

Kemudian, melihat diri sendiri selama obrolan video terus-menerus di waktu real time juga sangat melelahkan. Sebagian besar platform video akan menunjukkan tampilan Anda di depan kamera saat mengobrol. Namun, hal ter sebut, menurut Bailenson, adalah tidak wajar.

Ia mengutip penelitian yang menunjukkan ketika kita melihat cerminan diri sendiri, kita akan lebih kritis terhadap diri sendiri. "Hal itu membuat stres dan ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ada konsekuensi emosional negatif saat kita terus-menerus melihat diri sendiri di cermin," ujarnya.

Sebagai solusi, Bailenson merekomendasi kan agar platform mengubah praktik default yang memancarkan video untuk diri sendiri dan orang lain, ketika hanya perlu dikirim ke orang lain. Sementara itu, pengguna juga dapat menggunakan tombol "sembunyikan tampilan sen diri", yang dapat diakses dengan mengeklik kanan foto mereka sendiri, setelah mereka melihat wajah mereka dibingkai dengan benar di video.

Ketiga, beban kognitif akan jauh lebih tinggi dalam obrolan video. Bailenson men catat, dalam interaksi tatap muka yang teratur, ko munikasi nonverbal sangat alami dan kita masing-masing secara alami membuat dan menafsirkan bahasa tubuh dan isyarat non verbal secara tidak sadar.

Namun, dalam obrolan video, kita harus bekerja lebih keras untuk mengirim dan mene rima sinyal. "Jika Anda ingin menunjukkan kepada seseorang bahwa Anda setuju dengannya, Anda harus mengangguk atau mengacungkan jempol. Itu menambah beban kognitif, sekaligus menggunakan kalori mental untuk berkomunikasi," ujarnya.

Sebagai solusi, lanjut Bailenson, adalah dengan memberlakukan konsep "audio saja" ketika melakukan konferensi video. Dengan begitu, kita dapat beristirahat sejenak dari keharusan aktif secara nonverbal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement