Kamis 07 Feb 2013 07:05 WIB

Saat Open Source Dilabeli Musuh (2-habis)

Logo sejumlah aplikasi berbasis open source
Foto: OPENSOURCE.ORG
Logo sejumlah aplikasi berbasis open source

REPUBLIKA.CO.ID, Kalau mau menggunakan perhitungan lebih cermat dan rigid, software-software keluaran para raksasa teknologi seperti Microsoft dan Apple-lah yang justru membatasi dan mengekang pengguna dibanding open source. Apple bahkan disebut salah satu musuh terburuk open source saat ini dibanding Microsoft.

Secara logika, ketika seseorang membeli software sistem operasi (OS) Windows 8 seharga 1,5 juta misal, maka yang dibeli adalah hak untuk memakai. Dalam bahasa bahasa bisnis, perusahaan menyebut peranti lunak macam tadi sebagai proprietary software. Sedangkan komunitas open source menyebutnya sebagai closed software

Intinya pembeli hanya membayar lisensi dari pemegang hak cipta dan mendapatkan hak untuk menggunakan software dalam kondisi tertentu. Pengguna dilarang membagi dengan pengguna lain, memodifikasi, mengkaji, mendistribusi ulang atau mengubah pemrograman.

Dalam kalimat sederhana, pembeli hanya membeli hak pakai tapi bukan barang. Ketentuan ini yang tidak disukai komunitas open source

Salah satu anggota dewan pengamat dalam OSI, Simon Phipps, menyerang balik argumen IIPA terhadap Indonesia dan negara lain yang tercantum dalam Special 301 sebagai langkah putus asa untuk mengaburkan fakta .

Alasannya, imbuh Simon, pemasok software seperti IBM, Oracle, Red Hat, Microsoft, IP dan sebagian besar lain, sebenarnya telah mengintegrasikan open source ke dalam bisnis mereka. Salah satu perusahaan kreatif, Pixar pun menggunakan software berbasis Linux untuk menggarap animasi-animasinya.

Ia menilai gerakan IIPA penuh kebohongan dan berupaya menyamakan open source layaknya aktivitas pembajakan. Simon menyebut BSA dan juga lembaga serupa IIPA sebenarnya kebat-kebit.

Pengembangan model software terbuka berpotensi membuat negara berkembang lebih berdaya membangun sendiri industri IT-nya di dalam negari. Potensi itu, sebut Simon, berpeluang besar menyingkirkan ketergantungan mereka dari raksasa-raksasa software Amerika.

OSI juga mencibir IIPA yang dinilai serampangan menyerang pemerintah-pemerintah negara berkembang yang bahkan baru sekadar merekomendasikan open source.

"Padahal pemerintah AS sendiri berdosa karena Departemen Pertahanan AS (DOD) juga telah menerbitkan dan mengklarifikas panduan jelas yang condong kepada software-software berbasis open source dalam sebagian besar aplikasi," tulis Simon dalam essainya yang berjudul "Time To Rebut The IIPA's FUD Against Open Source".

Bukan hanya DOD sebenarnya, pada Februari 2011, Direktur New Media, Gedung Putih, Macon Phillips juga mengumumkan keputusan pemerintah untuk penggunaan dashboard web berbasis open source, Drupal, sebagai sistem manajemen konten (CMS).

Bagi yang belum tahu Drupal, ini adalah salah satu CMS favorit pengembang web. Menurut survei Water & Stone pada 2010, Drupal bersama Wordpress dan Jomla mendominasi pasar dan brand di pasar CMS open source.

Simon juga menyayangkan Penasihat Perdagangan Pemerintah AS yang justru mengikuti kemauan IIPA. Lucunya, imbuh Simon, ketika mereka menyerang negera berkembang, AS justru bisa lolos dari kecaman-kecaman serupa.

"Lembaga ini terus menggembar-gemborkan definisi ketinggalan zaman, menyembunyikan kepentingan pelaku bisnis dan takut terhadap inovasi serta model bisnis baru," ujar Simon. Ia menegaskan serangan tersebut harus segera dihentikan.***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement