Selasa 05 Feb 2013 03:38 WIB

'Open Access', Ideologi Melawan Kapitalisme Ilmu (2)

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Open Access (ilustrasi)
Foto: SCIENCE OMEGA
Open Access (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Open Access (OA), atau akses terbuka adalah ketersediaan secara online dan gratis dari konten digital, terutama peer-review artikel jurnal ilmiah dan akademis.

Secara lebih spesifik, OA merujuk kepada aneka literatur digital yang tersedia secara terpasang (online), gratis (free of charge), dan terbebas dari semua ikatan atau hambatan hak cipta atau lisensi. Artinya, ada sebuah penyedia yang meletakkan berbagai berkas, dan setiap berkas itu disediakan untuk siapa saja yang dapat mengakses.

Berdasarkan pengertian itu, maka OA otomatis juga membebaskan hambatan akses yang biasanya muncul karena biaya, entah itu biaya berlangganan, biaya lisensi, atau membayar biaya pay per view (ongkos per satu kali akses) bagi mereka yang enggan berlangganan.

Selain itu, OA juga menghilangkan hambatan yang timbul karena perizinan sebagaimana yang ada dalam setiap karya yang dilindungi hak cipta. Satu-satunya peranan hak cipta dalam bidang ini, seharusnya hanya dalam bentuk pemberian hak kepada penulis untuk menentukan integritas artikel yang ditulisnya dan pemberian penghargaan kepadanya dalam bentuk pengutipan.

Kini sejumlah negara berancang-ancang untuk membuka akses terbuka terhadap hasil penelitian. Yang terbaru adalah Inggris, yang akan menyediakan hasil penelitian yang didanai publik diakses secara terbuka dan gratis.

Tahun lalu, pemerintah Inggris mengungkap rencana kontroversial untuk membuat penelitian ilmiah yang didanai publik segera tersedia bagi siapa. Ini adalah perombakan yang paling radikal dari penerbitan akademis sejak penemuan internet di negeri itu.

Berdasar skema ini, "makalah penelitian yang pengerjaannya dibayar oleh pembayar pajak Inggris" akan tersedia gratis secara online untuk universitas, perusahaan, dan individu di manapun.

Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Menteri Sains Inggris, David Willetts, menyatakan transformasi ini akan selesai dalam dua tahun. "Pada tahun 2014, semua sudah bisa diakses," katanya.

Langkah ini mencerminkan gelombang dukungan untuk akses terbuka di kalangan akademisi yang telah lama memprotes bahwa penerbit jurnal mendulang keuntungan besar dengan mengunci penelitian balik paywalls online. "Jika wajib pajak telah membayar untuk penelitian i, maka hasil penelitian tidak boleh diletakkan di belakang paywall sebelum warga negara Inggris dapat membacanya," kata Willetts.

Ia mengatakan akan ada manfaat ekonomi yang tak sedikit dengan langkah ini. Universitas Inggris sekarang membayar sekitar 200 juta pundsterling, atau setara Rp 3 triliun setahun untuk biaya berlangganan jurnal ilmiah.

Ketegangan antara akademisi dan perusahaan penerbitan jurnal ilmiah meningkat dalam beberapa tahun ini. Lebih dari 12 ribu akademisi di Inggris memboikot penerbit Elsevier Belanda, dalam bagian dari kampanye yang lebih luas terhadap industri yang telah disebut "semi akademis".

Jauh sebelum itu, Cina sudah memulai. Lebih dari 80 persen dari data yang berhubungan dengan penelitian ilmu murni - seperti matematika teoritis, fisika dan kimia - akan tersedia secara bebas di Internet. Penegasan itu pertama kali disampaikan Xu Guanhua, menteri Sains dan Teknologi Cina, pada Konferensi Internasional Komite Data untuk Sains dan Teknologi (CODATA), tahun 2006.

Dalam rangka mencapai tujuan ini, Cina membangun 40 pusat data ilmiah pada tahun 2010, dengan 300 database yang berkaitan dengan lingkungan, pertanian, kesehatan manusia, ilmu teknik, murni dan informasi ilmiah dan teknologi regional. Semuanya akan terbuka dan bebas diakses melalui portal publik yang diprakarsai oleh Departemen Ilmu dan Teknologi.

Cina memang mulai melakukan investasi  besar-besaran untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa tahun terakhir. Belanja untuk keperluan ini naik 19,25 persen menjadi  71,6 miliar yuan (8,95 miliar dolar AS) tahun ini,  tingkat pertumbuhan tertinggi sejak reformasi Deng Xiaoping.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement