Senin 04 Feb 2013 13:04 WIB

Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (2)

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Open Acces (Ilustrasi)
Foto: BLOG.OKFN.ORG
Open Acces (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Mati di usia muda, kepergian Swartz diratapi banyak orang. Kehidupan singkat Aaron Swartz dianggap sebagai sebuah perjalanan besar, penuh inspirasi, namun berakhir tragis. Dia sejak awal meyakini idealismenya sendiri, bahwa informasi seharusnya gratis

Ketika aktivis berusia 26 tahun ini meninggal, ia menghadapi tuduhan serius di pengadilan federal, situasi yang menuntun pada simpulan mengapa ia memutuskan untuk bunuh diri. Anak muda yang dianggap "jenius" oleh sebagian orang ini berkontribusi dalam proyek-proyek teknologi, termasuk menjadi bagian dari penemuan RSS, yang kini digunakan oleh jutaan website.

Persinggungannya dengan hukum dimulai dengan insiden PACER pada tahun 2008. Public Access to Court Electronic Records adalah sebuah sistem yang mengumpulkan semua dokumen pengadilan federal AS, dan bisa diakses hanya dengan membayar.

Karena berada dalam domain publik, Aaron berpendapat informasi di situs itu semestinya tersedia secara gratis.

Benar, dia kemudian membeli akses untuk bisa masuk. Namun ibarat bertamu, dia tak hanya duduk manis di ruang tamu. Swartz menyusup secara maya hingga ke lorong-lorongnya dan menggondol 20 persen dari seluruh database, atau sekitar 18 juta dokumen, dan menyodorkannya pada pengakses Internet secara gratis.

Sudah ditebak, mereka yang ada di balik PACER meradang. Investigasi FBI dilancarkan, tapi setelah dua bulan, kasusnya ditutup. Ia dianggap tidak pernah melanggar hukum apapun. Tak ada yang dirugikan dengan menggratiskan informasi ini.

Sempat diinterogasi FBI tak membuatnya jera. Diam-diam ia mengakses database JSTOR, yang menyediakan jurnal penelitian berbayar. Lagi-lagi di situs ini, dia mengunduh 4 juta dokumen dari server MIT, dan menyimpannya pada hard drive-nya. Bukan untuk dirinya sendiri; ia mempublikasikannya secara gratis.

Kali ini, tak ada ampun baginya. Ia menghadapi ancaman hingga 35 tahun penjara. Meskipun setelah kematiannya, ada kesepakatan untuk memperpendek hukuman hanya 6 bulan ditambah masa percobaan.

Sebetulnya, apa yang menyeretnya ke penjara juga masih sumir. Masalah utamanya sebenarnya tak lebih hanyalah pelanggaran kebijakan  layanan situs web. Setiap website utama memiliki link di bagian bawah halaman yang mengantarkan pembacanya pada aturan ToS, term of service, yang menentukan apa yang Anda bisa dan tidak bisa lakukan di situs tersebut.

Umumnya pengakses situs, kemungkinan Anda juga, tidak pernah meperhatikannya. ToS juga bukan aturan hukum, sehingga dan tak ada konsekuensi hukum bagi pelanggarnya. Itu sebabnya pelanggaran ToS jarang bermuara ke pengadilan.

Namun Kejaksaan AS tampaknya tak ingin pemuda 26 tahun ini kembali membuat ulah. Mereka memilih memperkarakannya.

Bahkan setelah JSTOR menolak mengajukan tuntutan, jaksa bukannya menghentikan kasusnya, namun melanjutkan dengan tudingan lain, yaitu menyembunyikan identitasnya dan karenanya dibawa pada pasal kejahatan cyber. Konsekuensi hukumannya, tentu saja, tidak main-main dan jauh lebih berat. (bersambung)

 

Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (1)

Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (3)

Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (4-habis)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement