Senin 07 Mar 2022 03:15 WIB

Begini Cara Manusia Purba di China Mengolah Pewarna Oker

Oker kemungkinan telah digunakan Homo erectus di Kenya sejak 285 ribu tahun silam.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Nihewan Basin, situs ditemukannya aktivitas manusia awal-awal di China.
Foto:

Ada juga lempengan batu kapur memanjang diwarnai dengan oker. Lokakarya untuk produksi dan penggunaan pigmen mineral di Xiamabei merupakan elemen budaya baru jika dibandingkan dengan situs sebelumnya.

Anggota tim internasional yang menganalisis artefak, Profesor Michael Petraglia, mengaku takjub dengan penemuan tersebut. Dia adalah periset di Institut Max Planck Jerman untuk Ilmu Sejarah Manusia.

"Kami bisa bercerita banyak tentang aktivitas hominin. Kami benar-benar melihat area aktivitas pemrosesan oker, yang belum pernah terjadi sebelumnya di China," ujar Petraglia, dikutip dari laman Haaretz.

Lantai tempat tinggal manusia purba dihias dengan nuansa oker yang berbeda, didominasi warna merah. Temuan itu dianggap sesuai dengan karakteristik yang digunakan masyarakat purba pemburu-pengumpul di seluruh dunia.

Penggunaan oker dan alat kecil memang lazim seperti temuan di daerah lain. Akan tetapi, 'industri' pemrosesan pigmen dan alat kecil yang dijumpai di Xiamabei adalah yang pertama dari jenisnya di wilayah tersebut.

Selain itu, tim menyimpulkan identifikasi spesies secara luas. Gua Tianyuan hanya berjarak 150 kilometer dari Xiamabei dan menampung spesimen Homo sapiens yang menunjukkan bukti genetik persilangan dengan Neanderthal.

Apakah manusia purba yang tinggal di Xiamabei 40 ribu tahun yang lalu bertahan? Hal itu masih jadi pertanyaan bagi peneliti. Belum diketahui apakah mereka memiliki keturunan atau jejak garis keturunan mereka punah.

Studi terpisah menunjukkan bahwa garis keturunan spesies 'tetangga' di Tianyuan 40 ribu tahun yang lalu kemungkinan bertahan. Mereka menjadi nenek moyang beberapa populasi Asia dan penduduk asli Amerika, terutama Amerika Selatan.

Seberapa jauh hal itu menjelaskan perkembangan manusia modern belum menemukan jawaban. "Hasilnya masih sangat terbuka karena masih banyak yang harus dipelajari. Lanskapnya rumit," ungkap Petraglia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement