Senin 13 Sep 2021 10:02 WIB

Cerita Irham Andika, WNI Kuliah Astronomi di Jerman (2)

Irham Taufik Andika belajar banyak hal saat kualiah di Jerman,

Irham Taufik Andika
Foto:

Tantangan itu muncul setiap kali harus menggunakan sistem yang belum dikenal, untuk mendapatkan data. “Dan nanti kalau sudah ada data, bagaimana kita mengolahnya, bagaimana analisisnya? Itu kan menggunakan software yang berbeda-beda lagi. Jadi memang dituntut untuk belajar cepat, dan inisiatif mencari ahlinya siapa, dan minta buat diajarin.”

Pernah juga, orang yang diminta menolak untuk mengajarkan keahliannya. “Itu sering terjadi kalau kita minta dari scientist yang sudah senior atau staf permanen. Kan mereka biasanya lebih sibuk, dan punya banyak proyek. Untungnya, di MPIA banyak anak-anak postdoc atau postdoctoral researcher, dan mereka punya lebih banyak waktu luang, “dan lebih antusias buat ngajarin.”

Di negeri orang tidak boleh minder

Pelajaran terpenting bagi hidup yang didapat di Jerman adalah: tidak boleh minder. Dia menjelaskan lebih lanjut, dulu waktu ia berkuliah S1 misalnya, jika ada dosen yang memberikan penjelasan, terus bertanya: “Ada pertanyaan, ga?” Biasanya sebagian besar mahasiswa diam saja. Sehingga si dosen juga jadi bingung, mahasiswanya sebetulnya mengerti atau tidak?

“Kalo di sini, selalu ada pertanyaan dari mahasiswa ketika dosen menjelaskan. Jadi mereka cenderung lebih aktif, dan ga minder begitu, meskipun pertanyaannya sangat ‘basic’, gitu. Tapi mereka tetap percaya diri.

Impostor Syndrome

Irham juga bercerita kadang mengalami semacam Impostor Syndrome. “Jadi seperti kita merasa yang kita kuasai saat ini kurang banget. Sedangkan orang-orang di sekitar kita sepertinya keren banget. Dia ngerti ini, udah ‘publish’ paper di mana-mana, pencapaiannya luar biasa lah. Jadi kita minder banget, gitu.”

Padahal kalau digali lebih dalam, orang itu memang “jago”, tapi hanya di bidang riset yang dia kuasai. Hanya kebetulan saja, yang kita lihat adalah hal-hal yang orang itu bisa. “Kita ga ngeliat ‘struggle’ di balik itu.”

Awan jadi penghalang kesuksesan

Kegagalan juga sudah pernah dia alami dalam riset. Karena pengamatan dengan teleskop sangat tergantung pada cuaca. “Kalau langit tiba-tiba tertutup awan, kita ga bisa ngeliat bintang, ga bisa ngeliat galaksi.”

Ditambah lagi, untuk bisa menggunakan teleskop, ia perlu menyerahkan proposal terlebih dahulu. Sedangkan di dunia banyak peneliti yang berminat untuk menggunakan teleskop canggih seperti di Chile atau Hawaii bagi risetnya. Jadi saingan banyak, sedangkan waktu yang diberikan untuk menggunakan teleskop hanya semalam atau dua malam. Celakanya, kesempatan untuk menyerahkan proposal berikutnya baru ada enam bulan lagi.

Dalam situasi seperti itu, peneliti mengambil data dari teleskop lain yang memang disediakan untuk survey langit, bukan untuk observasi individual. Jadi mengambil data dari arsip.

Selain itu, yang dicari Irham bagi penelitiannya adalah galaksi yang belum banyak ditemukan. Sehingga di data arsip pun, belum tentu ada. Karena ia mengembangkan teknik untuk  menemukan galaksi baru, ia harus melakukan follow up observation. Artinya: ia harus mengirimkan proposal agar teleskop mengamati ke arah yang ia inginkan, agar bisa menjawab pertanyaan, apa ada galaksinya. Itu tergantung juga, dapat jatah menggunakan teleskop atau tidak.

Jika semua kesulitan itu timbul sehingga tidak mendapatkan data, tetapi harus mempublikasikan “paper”, Irham menjelaskan, hasil akhirnya nanti hanya sampai di tahap bagaimana peneliti melakukan seleksi kandidat galaksi baru.

“Tapi tidak bisa sampai tahap konfirmasi, bahwa itu memang galaksi.” Opsi lainnya adalah melakukan simulasi, supaya bisa dilihat bahwa metode observasi ini benar-benar meyakinkan. Sedangkan mengkonfirmasi jadi tugas orang lain.

 

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement