Senin 28 Sep 2020 11:43 WIB

Main Gim Video Semasa Kecil Terbukti Kuatkan Memori

Menurut studi, main gim video semasa kecil terbukti kuatkan memori bertahun kemudian.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Gim video Super Mario Bros. Penelitian skala kecil menunjukkan mereka yang aktif bermain gim video sejak kecil menunjukkan kinerja lebih baik dalam memproses objek tiga dimensi.
Foto: mario-bross.net
Gim video Super Mario Bros. Penelitian skala kecil menunjukkan mereka yang aktif bermain gim video sejak kecil menunjukkan kinerja lebih baik dalam memproses objek tiga dimensi.

REPUBLIKA.CO.ID, BARCELONA -- Membicarakan gim video memang menarik, meski dengan berbagai pro-kontra dan kontroversi yang mengikutinya. Terutama, bagi orang tua atau pengasuh yang mencemaskan dampak bagi anak menghabiskan berjam-jam memainkan konsol.

Berbagai isu, termasuk kecanduan serta efek negatif pada kesehatan, seperti gangguan penglihatan atau kurang aktif bergerak, menjadi dampak buruk bermain gim. Sisi baiknya, gim video juga bisa memiliki manfaat untuk keterampilan kognitif seseorang.

Baca Juga

Studi terkini mengeksplorasi hubungan antara gim video dan kognisi. Menurut periset dari Universitat Oberta de Catalunya di Barcelona, Spanyol, main gim video semasa kecil terbukti menguatkan memori bertahun-tahun kemudian.

Hasil temuan telah diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Human Neuroscience. Studi menggabungkan permainan gim video dengan stimulasi magnetik transkranial (TMS) yang telah dipelajari oleh para ilmuwan sebagai penanganan untuk gangguan mood.

Berbagai studi terdahulu menunjukkan bahwa TMS dapat meningkatkan kinerja kognitif dalam beberapa kondisi. Sekitar 60 penelitian melaporkan bahwa pengobatan tersebut menyebabkan peningkatan signifikan dalam kognisi, termasuk memori kerja.

Dalam riset terkini yang dibahas, para peneliti meminta 27 sukarelawan sehat dengan usia rata-rata 29 tahun untuk melakoni 10 sesi pelatihan gim video. Pada tiap sesi, mereka memainkan "Super Mario 64" selama satu setengah jam.

Pada akhir setiap sesi, para peneliti menerapkan TMS ke bagian korteks prefrontal di bagian depan otak yang penting untuk fungsi kognitif kompleks. Tim juga menilai fungsi kognitif peserta sebelum studi, di akhir sesi, dan 15 hari setelahnya.

Aspek fungsi kognitif yang dinilai termasuk waktu reaksi, memori kerja, rentang perhatian, keterampilan visuospasial, dan pemecahan masalah. Hasil dari pelatihan itu menunjukkan perubahan terbatas, tapi peneliti mengungkap temuan lain.

"Orang yang kerap bermain gim sebelum masa remaja, meskipun tidak lagi bermain, tampil lebih baik dengan tugas memori kerja, yang secara mental penting dalam memproses dan memanipulasi informasi," kata penulis utama studi, Marc Palaus.

Terdapat dua kelompok dalam studi, mereka yang secara teratur bermain gim video semasa kecil dan yang tidak. Orang yang menjadi gamer di masa kecil diketahui lebih mampu untuk fokus pada rangsangan yang relevan dalam pelaksanaan tugas.

Disampaikan Palaus, mereka yang aktif bermain gim video sejak kecil menunjukkan kinerja lebih baik dalam memproses objek tiga dimensi. Perbedaannya dengan kelompok lain berkurang setelah periode pelatihan dalam permainan video berakhir.

Pasalnya, kedua kelompok menunjukkan tingkat yang sama. Menurut para peneliti, hasil riset mereka menunjukkan bahwa gim video dapat menyebabkan perubahan kognitif yang berlangsung selama bertahun-tahun setelah orang berhenti bermain.

Palaus menjelaskan, gim video memberikan motivasi yang membuat pemain ingin terus bermain sekaligus menantang penggunaan sumber daya otak yang intensif karena levelnya semakin sulit. Itu membuat gim ideal untuk meningkatkan kemampuan kognitif.

"Video game adalah resep sempurna untuk memperkuat keterampilan kognitif kita, hampir tanpa kita sadari," kata Palaus. Namun, dia menekankan bahwa peningkatan memori yang dimaksud memiliki efek terbatas pada kinerja aktivitas yang tidak terkait dengan permainan.

Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini melibatkan sejumlah kecil peserta yang semuanya sehat, muda, dan berpendidikan tinggi. Artinya, temuan tersebut belum dapat diterapkan secara meluas, dikutip dari laman Medical News Today.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement