REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK-- Sebuah studi baru melaporkan bintang raksasa yang dikenal sebagai SN2016aps meledak di galaksi. Ledakan ini terjadi sekitar 3,6 miliar tahun cahaya dari Bumi.
SN2016aps merupakan supernova paling terang yang pernah ada. Penulis studi Matt Nicholl mengatakan manusia bisa mengukur supernova menggunakan dua skala, yaitu total energi ledakan dan jumlah energi yang dipancarkan sebagai cahaya yang dapat diamati atau radiasi.
“Dalam supernova yang khas, radiasi kurang satu persen dari total energi,” kata Nicholl melalui sebuah pernyataan, seperti yang dilansir dari Space, Selasa (14/4).
“Tetapi dalam SN2016aps, kami menemukan radiasi lima kali energi ledakan dari supernova berukuran normal. Ini adalah cahaya yang paling banyak dipancarkan oleh supernova,” ujarnya menambahkan.
SN2016aps sangat aneh dan ekstrim sehingga Nicholl dan rekan-rekannya berpikir benda langit tersebut mungkin supernova pulsational pair-instability. Yaitu, dua bintang besar bergabung sebelum seluruh sistem mengalami ledakan.
Peristiwa itu dihipotesiskan, tetapi para astronom tidak pernah mengonfirmasi keberadaan mereka secara pengamatan.
Seperti namanya, SN2016aps ditemukan pada 2016 oleh Panoramic Survey Telescope dan Rapid Response System di Hawaii. Nicholl dan timnya melacak peristiwa itu selama dua tahun dengan Teleskop Luar Angkasa Hubbel NASA, serta berbagai instrumen di darat.
Kecerahan supernova memudar menjadi hanya satu persen dari output puncaknya. Pengamatan ini memungkinkan para peneliti mengkarakterisasi ledakan dan mengumpulkan informasi bagaimana mungkin terjadi.
Sebagai contoh, tim menentukan sebagian besar kecerahan SN2016aps mungkin berasal dari interaksi antara supernova dan gas di sekitarnya. Sebelum mereka meledak, bintang-bintang raksasa mengalami denyut, yang mengeluarkan ledakan seperti itu ke luar angkasa.
Selain itu, para peneliiti menghitung sistem supernova menampung antara 50 dan 100 kali massa matahari. Itu mungkin memang sebuah sistem, bukan hanya satu bintang.
“Gas yang kami deteksi sebagian besar adalah hidrogen-tetapi bintang masif seperti itu biasanya akan kehilangan semua hidrogennya melalui angin bintang jauh sebelum mulai berdenyut,” ujar Nicholl.
Penjelasannya adalah dua bintang yang sedikit lebih masif di sekitar, katakanlah 60 massa matahari, telah tergabung sebelum ledakan. Bintang bermassa rendah menahan hidrogen lebih lama, sementara massa gabungannya cukup tinggi untuk memicu ketidakstabilan bintang lainnya.