REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO Zoom Eric S Yuan mengakui adanya celah keamanan dan privasi dari aplikasinya. Temuan tersebut dilaporkan muncul beberapa waktu lalu seiring dengan semakin banyaknya pengguna Zoom di masa pembatasan aktivitas masyarakat dunia di ruang publik.
Dalam sebuah wawancara yang dikutip The Verge, Ahad (5/4), Yuan mengatakan bahwa pihaknya bergerak terlalu cepat dan ternyata salah langkah.
"Kami telah mempelajari dan telah mengambil langkah mundur untuk fokus pada privasi dan keamanan," ujar dia.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan Wall Street Journal, Yuan mengatakan bahwa dia merasa benar-benar kacau sebagai CEO/ Dia merasa "berkewajiban untuk memenangkan kembali kepercayaan pengguna."
Penggunaan Zoom meningkat tajam ketika orang-orang, yang harus berada di rumah untuk memutus rantai penyebaran pandemi virus corona, menggunakannya untuk tetap terhubung dengan pekerjaan maupun kegiatan belajar mengajar. Dalam unggahan blog pada Rabu (1/4), Yuan menyebutkan bahwa penggunaan Zoom mencapai 200 juta peserta rapat harian pada Maret, naik dari hanya 10 juta peserta rapat pada Desember.
Zoom menjadi target iseng atau "Zoombombing" yang memungkinkan orang tanpa diundang masuk dalam rapat. Perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu kemudian bertekad untuk menyelesaikan masalah keamanan, dengan mengumumkan pada Kamis (2/4), penghentian pembaruan fitur selama 90 hari untuk fokus pada privasi dan keamanan.
Namun, kekhawatiran keamanan pada Zoom telah membuat sejumlah sekolah di AS, termasuk di kota New York, untuk melarang penggunaan platform konferensi video itu dalam kelas online.
Departemen Pendidikan kota New York mengatakan kepada guru bahwa mereka tidak boleh menggunakan Zoom. Sebagai gantinya, mereka diminta menggelar kelas i menggunakan layanan pesaingnya, Microsoft Teams.
"Kami masih dalam proses bekerja sama dengan mereka," kata Yuan mengacu pada pihak sekolah di New York. "Kami ingin Zoom menjadi perusahaan yang mengutamakan privasi dan keamanan," dia.