Kamis 20 Feb 2020 16:02 WIB

Ilmuwan Ungkap Misteri Kelimpahan Air di Planet Jupiter

Data kelimpahan air di Jupiter diperoleh dari misi Juno.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Wahana antariksa Juno mengabadikan fenomena unik di planet Jupiter.
Foto: nasa
Wahana antariksa Juno mengabadikan fenomena unik di planet Jupiter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian terbaru menyebut air membentuk hampir 0,25 persen molekul atmosfer di ekuator Jupiter. Jumlah ini hampir tiga kali lipat besarnya dibandingkan Matahari. 

Perkiraan itu diterbitkan dalam laporan di jurnal Nature Astronomy, yang berasal dari misi Juno oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (AS) atau NASA. Dilansir Space, ini memberikan petunjuk dan bagian penting yang sebelumnya hilang pada teka-teki pembentukan Tata Surya. 

Baca Juga

Sejak misi Galileo yang diluncurkan NASA pada 1995, ini menjadi informasi pertama mengenai kelimpahan air di Jupiter. Perbandingan tidak didasarkan pada air, namun pada keberadaan komponen, yaitu oksigen dan hidrogen di Matahari. 

Jupiter mungkin merupakan planet pertama yang terbentuk di Tata Surya. Terdapat sebagian besar gas dan debu yang tidak dimasukkan ke dalam Matahari di planet ini. 

Sejumlah teori terkemuka tentang pembentukannya bergantung pada jumlah air yang diserap Jupiter. Kelimpahan air juga  memiliki implikasi untuk meteorologi dan struktur internal raksasa gas.

Sementara itu, kilat atau sebuah  fenomena yang biasanya dipicu oleh kelembaban terdeteksi di Jupiter oleh Voyager dan pesawat ruang angkasa lainnya. Hal ini menyiratkan adanya air, namun perkiraan akurat jumlah air jauh di dalam atmosfer planet tersebut masih sulit dipahami.

Sebelum misi penyelidikan Galileo berhenti ditranmisikan pada Desember 1995, pengukuran spektrometer ke kedalaman sekitar 120 kilometer didapatkan. Para ilmuwan yang mengacu pada data tersebut kecewa karena menemukan jumlah air 10 kali lebih sedikit dari yang diperkirakan di Jupiter. 

Secara mengejutkan, jumlah air tampaknya masih meningkat pada kedalaman terbesar yang diukur. Ini jauh di bawah, di mana teori menyatakan bahwa atmosfer harus tercampur dengan baik. Kadar air konstan di seluruh wilayah dan cenderung mewakili rata-rata global, atau dengan kata lain lebih mewakili air di seluruh Jupiter. 

Ketika dikombinasikan dengan peta inframerah yang diperoleh pada saat yang sama oleh teleskop berbasis darat, hasilnya menunjukkan misi penyelidikan mungkin saja tidak beruntung, mengambil sampel tempat meteorologi yang kering dan hangat di Jupiter. Penemuan mengejutkan bahwa atmosfer tidak tercampur dengan baik bahkan di bawah puncak awan adalah teka-teki yang masih dicari tahu oleh para ilmuwan. 

“Tidak ada yang akan menduga bahwa air mungkin sangat bervariasi di planet ini,” ujar penyelidik utama misi Juno, Scott Bolton. 

Dalam studi baru, para ilmuwan menggunakan data yang dikumpulkan selama delapan flybars Jupiter pertama Juno untuk menghasilkan temuan. Mereka awalnya berkonsentrasi pada daerah khatulistiwa karena atmosfer di sana tampak lebih bercampur, bahkan di kedalaman, dibandingkan di area lain.

Dari tempat orbitnya, radiometer mampu mengumpulkan data dari 150 kilometer ke atmosfer Jupiter. Cheng Li, sebagai peneliti lainnya dari University of California, Berkeley mengatakan air di ekuator lebih besar dari apa yang diukur Galileo ditemukan. 

"Karena wilayah khatulistiwa sangat unik di Jupiter, kami perlu membandingkan hasil ini dengan berapa banyak air di daerah lainnya,” jelas Li.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement