Rabu 15 Jan 2020 17:49 WIB

Penelitian Soal Perubahan Iklim Raih Newton Prize 2019

Peneliti ITB meneliti perlindungan komunitas pesisir dari dampak perubahan iklim.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Suasana jembatan kuning yang ambruk akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah (ilustrasi)
Foto: ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA
Suasana jembatan kuning yang ambruk akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah kolaborasi antara ilmuwan Indonesia dan Inggris memenangkan penghargaan Newton Prize 2019. Penelitian yang dipimpin oleh peneliti dari ITB, Harkunti Rahayu dan Profesor Richard Haigh dari Universitas Huddersfield ini membahas mengenai melindungi komunitas pesisir dari dampak perubahan iklim.

Harkunti menjelaskan, perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan dampak perustiwa cuaca ekstrem seperti tsunami dan musibah banjir. Penelitian yang dilakukannya mengembangkan strategi baru untuk melindungi rumah, bisnis dan infrastruktur di daerah pesisir dengan lebih baik.

Baca Juga

Harkunti menjelaskan, sebelum membentuk sebuah sistem mitigasi dan pengurangan risiko bencana, diadaptasikan terlebih dahulu dengan perubahan iklim. Ia menjelaskan, bencana alam dan perubahan iklim selalu saling berhubungan, sementara perubahan iklim pasti akan datang.

"Yang kami lakukan sebelum mengatur strategi, adalah bagaimana mengatur risiko bencana. Kita memetakan dulu bagaimana tingkat risiko mereka, bagaimana menentukan tingkat vulnerability, kapasitas, dan tingkat ancaman," kata Harkunti, ditemui usai menerima hadiah dari Kedutaan Besar Inggris, Selasa (14/1) malam.

Ia menjelaskan, ada tiga pilar yang harus dipenuhi dalam proses pemetaan tersebut. Pilar pertama adalah mengetahui tingkat risiko. Harkunti menjelaskan, tanpa mengetahui tingkat risikonya maka mitigasi tidak akan ada artinya.

"Tapi gimana level dari kerentanan masyarakat itu sendiri, seperti apa. Itu perlu kita lakukan asesmen. Ada komponen yang kita bangun, jadi kita menyaring indikator yang ada di masyarakat," kata Harkunti.

Pilar kedua adalah komponen pendeteksi bahaya. Hal ini berarti berhubungan dengan pemerintah pusat yang memiliki peralatan peringatan dini. Hal ini murni bicara mengenai teknologi yang ada.

Selanjutnya, adalah memperhatikan aspek manusia. Ia menyebutnya sebagai people center early warning system, yakni peringatan dini yang berpusat kepada masyarakat. Ia melihat, selama ini masyarakat hanya dijadikan objek dalam peringatan dini bencana.

"Semestinya nggak begitu. Masyarakat harus diberdayakan, masyarakat perlu ditingkatkan kemampuannya sehingga mereka bisa merespon. Jadi people center artinya, masyarakat sebagai pemain utama," kata dia lagi.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN), Bambang Permadi Brodjonegoro mengatakan penelitian yang dilakukan tim Harkunti memiliki dampak yang signifikan untuk masyarakat pesisir. Sebab, Indonesia khususnya di pesisir merupakan wilayah yang rawan bencana.

Ia mengatakan, yang dilakukan oleh tim Harkunti yakni melakukan pendekatan dari sisi perencanaan wilayah. Hal ini menunjukkan mitigasi bisa dilakukan sehingga korban bisa diminimalkan dengan membuat perencanaan pesisir yang baik.

Model perencanaan ini, apabila dikembangkan bisa menjadi contoh bagi ilmuwan lain di Indonesia untuk membuat perencanaan serupa. Tidak harus hanya di pesisir namun juga daerah lain dengan tipe bencana yang berbeda.

"Kita juga ingin mendorong misalkan petani yang tinggal di dekat gunung berapi bagiaman kita bisa memitigasi mereka ketika terjadi gunung meletus," kata Bambang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement