Selasa 24 Jan 2023 17:37 WIB

Dampak Positif dan Negatif ChatGPT, Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakannya

ChatGPT dilatih supaya bisa menjawab semirip mungkin dengan manusia.

Dampak positif dan negatif ChatGPT. (ilustrasi)
Foto: Unsplash
Dampak positif dan negatif ChatGPT. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika diperkenalkan pada acara World Economic Forum di Davos, Swiss, beberapa waktu lalu, ChatGPT yang dikembangkan dari teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) mendadak menjadi buah bibir. ChatGPT adalah kecerdasan buatan generatif yang dikembangkan oleh OpenAI, startup yang fokus pada riset kecerdasan buatan.

OpenAI didirikan oleh ilmuwan dan tokoh besar teknologi, salah satunya Elon Musk. Melansir dari Reuters, ChatGPT berupa chatbot canggih yang bisa mempelajari data dalam jumlah yang sangat banyak supaya bisa menjawab berbagai pertanyaan. ChatGPT dilatih supaya bisa menjawab semirip mungkin dengan manusia, bahkan disebut bisa memberikan jawaban yang panjang.

Baca Juga

Berkat kemampuan itu, ChatGPT mendapat sambutan hangat dari industri teknologi di Silicon Valley, baik dari segi investasi maupun minat menggunakan chatbot tersebut. Microsoft, salah satu investor OpenAI, akan menggelontorkan lebih banyak dolar untuk pengembangan kecerdasan buatan oleh OpenAI.

CEO Cloudfare Inc Matthew Prince menilai AI generatif seperti ChatGPT bisa memiliki kemampuan sebaik programmer junior. Cloudfare menggunakan teknologi semacam itu untuk menulis kode pada platform Workers.

Mereka berminat menggunakan teknologi serupa untuk menjawab pertanyaan konsumen dengan cepat, terutama untuk layanan yang gratis. AI generatif tidak hanya berfungsi untuk data teks, ia juga bisa dilatih untuk mempelajari gambar. Melihat potensi itu, pimpinan produk di Meta Platforms Chris Cox melihat teknologi AI generatif bisa dikembangkan untuk membuat filter gambar, apalagi mereka memiliki aplikasi yang fokus pada konten visual, yaitu Instagram.

Penggunaan AI generatif ChatGPT tidak saja menjanjikan bagi pelaku teknologi, namun juga mahasiswa penyandang disabilitas untuk membantu mereka memahami perkuliahan. Adam Whitehead, 30, mahasiswa filsafat di University of Melbourne, Australia, memiliki gangguan penglihatan. Dia menggunakan komputer dan teknologi berbasis kecerdasan buatan untuk membacakan materi kuliah dan mengikuti ujian.

Sementara Betty Zhang, mahasiswi bioteknologi yang aktif dalam grup advokasi kampus untuk pelajar yang memiliki disabilitas, menilai lumrah bagi universitas untuk menggunakan teknologi itu. "AI punya potensi yang sangat besar, terutama untuk membuat materi belajar lebih bisa diakses," kata Zhang.

Dia meyakini, jika AI digunakan secara efektif, maka akses belajar menjadi lebih terbuka, apakah untuk penyandang disabilitas atau tidak. Sayangnya, teknologi AI generatif seperti ChatGPT juga menimbulkan potensi buruk bagi dunia pendidikan, yaitu digunakan untuk mencontek atau mengakali tugas dan ujian sekolah.

Group of Eight (Go8), konsorsium universitas terbaik di Australia, khawatir teknologi ChatGPT digunakan mahasiswa untuk mengerjakan tugas dan menjawab ujian. Sejak diuji coba untuk publik pada 30 November, sejumlah sekolah dan universitas di Amerika Serikat melarang ChatGPT karena kekhawatiran yang sama.

ChatGPT dirancang untuk merespons perintah sederhana. Dengan kemampuan menjawab mendekati manusia, pendidik khawatir mahasiswa menggunakan AI generatif itu untuk menulis esai atau bahkan menjawab ujian.

Ketika pandemi, banyak perkuliahan yang dilakukan dari jarak jauh, mengandalkan komputer dan internet. Go8 bahkan menyarankan untuk memperbanyak ujian berbasis kertas untuk mengantisipasi penyalahgunaan AI generatif seperti ChatGPT.

Wakil Direktur Go8 Matthew Brown mengatakan, anggota mereka juga akan mengadakan pengawasan langsung selama penilaian dan menggunakan teknologi pengawasan untuk mahasiswa yang ujian menggunakan komputer. Di AS, lebih dari 6.000 guru dan dosen menggunakan GPTzero, program yang bisa mendeteksi teks yang dibuat oleh AI.

Sementara Sam Illingworth, pengajar di Edinburgh Napier University, dalam artikel yang dimuat di The Conversation, menyarankan sekolah memberikan tugas yang bersifat praktis. Misalnya menulis tentang pameran yang ada di sekitar tempat tinggal.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement