Selasa 07 Jun 2022 14:03 WIB

Jaksa Agung Texas Turun Tangan Selidiki Jumlah Akun Bot di Twitter

Elon Musk tampaknya berusaha menggagalkan kesepakatan untuk membeli Twitter.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Logo Twitter. Elon Musk tampaknya berusaha menggagalkan kesepakatan untuk membeli Twitter.
Foto: AP Photo/Matt Rourke
Logo Twitter. Elon Musk tampaknya berusaha menggagalkan kesepakatan untuk membeli Twitter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jaksa Agung Texas Ken Paxton meluncurkan penyelidikan terhadap Twitter atas kekhawatiran laporan terkait jumlah bot dan akun palsu. Paxton mengklaim akun tidak autentik dapat membantu mengembangkan nilai Twitter.

Penyelidikan tersebut dilakukan di bawah Undang-Undang Praktik Perdagangan Penipuan (DTPA) negara bagian yang melindungi dari pengiklan, bisnis, dan pengguna yang menyesatkan. Penyelidikan itu berlangsung saat CEO Tesla Elon Musk tampaknya berusaha menggagalkan kesepakatan untuk membeli Twitter.

Baca Juga

Selama beberapa pekan, dia telah mengeluhkan jumlah bot di platform kemungkinan jauh lebih besar daripada yang dilaporkan. Sekarang merupakan momen menarik untuk menyelaraskan kepentingan Musk dan Paxton.

Belum lama ini, Tesla baru membuka Gigafactory dan memindahkan kantor pusatnya di Texas. Tindakan tersebut membuka banyak bisnis potensial yang datang karena tawaran keringanan pajak kepada perusahaan yang membangun fasilitas lokal. Padahal sebelumnya, Paxton telah dituduh menyalahgunakan jabatan atas kasus penyuapan, tetapi dia akhirnya dibebaskan.

Sementara itu, Twitter telah diperintahkan untuk memberikan dokumen yang tidak diedit yang merinci jumlah pengguna aktif perusahaan sejak tahun 2017. Dokumen tersebut juga diharapkan berisi metode yang digunakan untuk menghitung rasio akun palsu yang menguraikan model periklanannya.

Dilansir Engadget, Selasa (7/6/2022), perlu dicatat harapan Musk untuk meningkatkan kebebasan berbicara di Twitter yang disinkronkan dengan Republic bertujuan untuk membalikkan dugaan penyensoran sudut pandang konservatif di situs tersebut. Twitter telah lama menolak klaim bias ideologis dan menggugat Paxton atas klaim pembalasan politik yang melanggar hak Amandemen Pertama.

Sebelumnya, Twitter telah menyatakan akun palsu yang ada di platformnya kurang dari lima persen pengguna. Paxton telah menggugat beberapa perusahaan teknologi atas praktik mereka, termasuk Google untuk bisnis iklannya dan Meta untuk pengenalan wajah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement