REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teleskop Badan Antariksa Amerika (NASA) menemukan pemandangan unik yang terjadi akibat tabrakan kosmik . Teleskop Spitzer NASA yang sudah tidak lagi aktif menangkap awan debu yang dihasilkan ketika dua partikel seukuran planet kerdil bertabrakan, beberapa ratus tahun cahaya jauhnya dari kita.
Dalam pernyataan 18 Maret 2022 dari Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA di California, penulis utama Kate Su, profesor riset di University of Arizona, mengatakan dengan melihat cakram puing berdebu di sekitar bintang muda, kita dapat melihat kembali ke masa lalu dan melihat proses yang mungkin telah membentuk tata surya kita sendiri.
Penelitian baru ini menandai pertama kalinya para astronom berhasil mengamati puing-puing awan yang lewat di depan bintang induknya, HD 166191. Ukuran dan kecerahan bintang, bersama dengan pengamatan awan puing, memungkinkan para astronom untuk memperkirakan ukuran awan, serta ukuran partikel yang berpotensi terkena dampak.
Teleskop Spitzer pensiun pada tahun 2020 setelah mengamati alam semesta dalam cahaya inframerah selama lebih dari 17 tahun.
Lingkungan HD 166191 dipenuhi dengan puing-puing, sebagian karena bintangnya masih muda. Bintang itu baru berusia 10 juta tahun, sangat muda dibandingkan dengan 4,5 miliar tahun matahari. Debu yang ditinggalkan oleh perkembangan bintang muda itu kini menggumpal bersama untuk menghasilkan planetesimal, yang oleh JPL disebut sebagai "benih planet masa depan".
Namun, saat gas memasuki ruang antara dunia kecil itu, tabrakan bisa menjadi bencana. Spitzer melakukan hampir 100 pengukuran bintang antara 2015 dan 2019, dan para peneliti mencapai keberuntungan pada 2018.
Saat para astronom mengamati, sistem HD 166191 terus bersinar di pertengahan tahun 2018, kemungkinan besar karena peningkatan jumlah puing. Namun, Spitzer juga menangkap transit yang merupakan awan puing-puing melintas di antara teleskop dan bintang. Hal ini menyebabkan bintang tampak redup untuk waktu yang singkat, mirip seperti ketika awan melintas di depan matahari.
Teleskop berbasis darat juga telah mendeteksi transit dan menggabungkan informasi itu dengan data Spitzer, memungkinkan para ilmuwan untuk memperkirakan ukuran dan bentuk awan debu.
Menurut pengamatan, ukuran awan itu sekitar tiga kali ukuran bintang. Disisi lain, kecerahan inframerah yang dilihat oleh Spitzer menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari awan yang lewat di depan bintang induknya. Awan lainnya yang tidak terlihat melalui teleskop, mungkin ratusan kali lebih besar dari HD 166191.
Kemudian untuk menghasilkan awan sebesar itu, para ilmuwan menyimpulkan bahwa objek yang bertabrakan harus berukuran raksasa, seukuran planet kerdil di tata surya kita. Benda-benda yang bertabrakan itu dibandingkan dengan Vesta, asteroid terbesar kedua, yang lebarnya sekitar 330 mil (530 kilometer). Menurut para ahli, tabrakan pertama itu memicu reaksi berantai dari tabrakan yang lebih kecil.
Sementara awan menyebar dengan cepat dan menghilang dari pandangan Spitzer pada 2019. Penulis menyatakan bahwa penelitian ini dapat membantu mereka menguji pemodelan dan hipotesis tentang bagaimana planet yang baru lahir berevolusi.
"Dengan melihat piringan puing berdebu di sekitar bintang muda, kita dapat melihat kembali ke masa lalu dan melihat proses yang mungkin telah membentuk tata surya kita sendiri," kata Su dalam pernyataannya.
Penelitian ini dupublikasikan di The Astrophysical Journal pada 10 Maret.