Soal deltacron, sejauh ini belum ada informasi resmi dari UKHSA tentang kemungkinan penularan dan berat-ringannya gejala yang ditimbulkan oleh varian baru ini. Meski begitu, beragam pendapat telah disampaikan oleh beberapa pakar.
"Tampaknya kita masih perlu menunggu beberapa waktu ke depan untuk mengetahuinya," kata Prof Tjandra yang pernah menjabat sebagai direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara pada 2018-2020.
Seorang ilmuwan Siprus Leonidos Kostrikis menyangkal varian deltacron yang ditemukannya merupakan hasil kontaminasi laboratorium. Dia mengatakan kepada Bloomberg dalam sebuah pernyataan surat elektronik pada Ahad (9/1/2022) bahwa 25 kasus yang telah dia identifikasi menunjukkan adanya tekanan evolusioner di strain pendahulu SARS-CoV-2 hingga terciptalah mutasi ini.
"Deltacron bukan hasil suatu peristiwa rekombinasi," kata Kostrikis yang juga kepala Laboratorium Bioteknologi dan Virologi Molekuler Siprus, seperti dikutip dari laman Bloomberg, Senin (10/1/2022).
Kostrikis menjelaskan, infeksi deltacron lebih tinggi di antara pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit daripada di antara pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Hal itu membuat hipotesis kontaminasi dapat dikesampingkan, menurut Kostrikis.