Rabu 24 Mar 2021 12:47 WIB

Lapisan Gletser Lumer Makin Cepat, Apa Dampak Bagi Manusia?

Lumernya gletser bisa jadi bencana besar bagi eksistensi manusia.

Gletser di Pegunungan Himalaya yang mencair.
Foto:

Efek domino

Akan muncul efek domino yang lebih dahsyat. Suhu di kutub utara akan naik dua kali lipat lebih cepat. Sistem " air conditioner" raksasa yang mengatur suhu planet Bumi akan macet. Suhu panas bukan hanya mencairkan lapisan es di kutub, tapi juga melemahkan arus udara di atmosfir yang disebut "jet stream". Gampangnya, cuaca buruk akan makin kerap melanda.

Fenomena polar vortex yang baru-baru ini membuat sebagian Eropa dan Amerika Utara membeku memiliki korelasi dengan melemahnya jet stream di kawasan kutub. Inilah skenario yang memicu zaman es secara tiba tiba dalam film The Day After Tomorrow.

Cuaca dingin mungkin disambut baik, di tengah pemanasan global. Tapi jangan lupa, kawasan kutub juga memanas. Artinya, lapisan es yang dulunya berfungsi memantulkan energi panas matahari dari bumi, tidak lagi berfungsi sepenuhnya. Ini memicu lautan menyerap panas tersebut. Tidak mengherankan jika pada musim dingin 2018, lapisan es di laut Bering di Alaska mencapai level paling rendah dalam 5000 tahun terakhir.

Habitat ikan, burung laut, anjing laut, pinguin dan berung kutub juga musnah seiring lumernya lapisan es abadi. Juga lumernya lapisan permafrost dengan cepat di kawasan Siberia akan memicu bencana iklim selanjutnya. Fenomena yang ditandai dengan munculnya kawah-kawah misterius di kawasan tundra Rusia itu, merupakan indikasi terlepasnya gas rumah kaca dalam jumlah besar.

Seperti diketahui, kawasan permafrost merupakan penyimpan karbon terbesar di dunia. Sekarang, kawasan tundra Rusia justru melepas emisi gas rumah kaca seperti methana dan karbondioksida yang dulu terperangkap di suhu minus abadi.

Sejumlah ilmuwan meramalkan, hingga akhir abad ini, sekitar 40 persen kawasan permafrost akan lenyap. Kemana? Ke atmosfir tentunya. Yang kemudian memicu lagi pemanasan global seperti mesin turbo.

Skenario muka air laut naik puluhan meter

Jika semua lapisan es di kutub selatan yang merupakan cadangan terbesar dunia lumer, muka air lautan di seluruh dunia akan naik hingga 60 meter. Ini adalah kiamat bagi kota-kota di pinggir pantai seperti New York, Mumbai, London dan juga Jakarta. Semua akan tenggelam ke dasar laut.

Tapi itu baru skenario Armageddon. Jangan panik! Fenomena itu tidak akan terjadi daam waktu dekat ini. Mitigasi yang paling realistis saat ini adalah, pemanasan global akan memicu kenaikan muka air laut setinggi 2 meter pada akhir abad ini. Artinya, hanya sekitar 350 juta sampai 500 juta orang yang bermukim dikawasan pantai, yang akan terkena dampaknya.

Juga efek lain dari mencairnya gletser di pegunungan, sekitar 700 juta orang lainnya di kawasan pegunungan, "hanya" akan mengalami kelangkaan air bersih parah, seperti yang sudah dialami Chile atau India saat ini. Atau total sekitar 2 milyar manusia akan menghadapi bencana kekurangan air sekaligus kelaparan akibat kekeringan.

Apa yang masih bisa dilakukan?

Apakah kita masih bisa melakukan upaya mengerem skenario bencana itu? Paling tidak umat manusia harus mulai menghentikan pencemaran atmosfir dengan gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Tentu saja proses pembalikan ini tidak bisa dijalankan dan terihat hasilnya dalam sehari semalam.

Jika diasumsikan semua penduduk dunia menghentikan penggunaan bahan bakar fosil mulai hari ini, sekitar 30 persen dari seluruh lapisan gletser yang tersisa hari ini, tetap saja akan mencair. Target PBB adalah, jika dunia hingga tahun 2050 bisa melakukan de-karbonisasi, makan sekitar 30 persen massa gletser bisa diselamatkan hingg akhir abad ini.

Masa depan umat manusia terkait perubahan iklim sulit diramalkan. Semuanya tetap merupakan skenario dan pemodelan. Tapi, jika pelumeran es abadi dan gletser bisa diperlambat, skenario bencana seperti dalam film, tidak akan terlihat menggelikan lagi buat generasi mendatang.

 

sumber: https://www.dw.com/id/lumernya-gletser-dan-dampaknya-bagi-manusia/a-56960713

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement