REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat online Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) lewat aplikasi Zoom ramai diperbicangkan karena ada penyusup yang tiba-tiba membagi konten porno. Kamis (16/4) (Wantiknas) mengadakan diskusi virtual TIK-Talk edisi ke-19 dengan tema Kolaborasi Multistakeholders untuk Memerangi Hoax dan Disinformasi di Tengah Pandemi COVID-19.
Diskusi tersebut membahas seputar masalah hoaks dan misinformasi yang menambah keresahan masyarakat di tengah pandemi virus corona, menghadirkan beragam pembicara termasuk dari pakar teknologi dan perwakilan kementerian.
Diskusi tersebut terbuka untuk umum, bukan hanya untuk media, dan rupanya menarik minat masyarakat yang juga resah dengan penyebaran hoaks saat kondisi krisis seperti saat ini. Jumlah peserta diskusi hari ini lebih dari 100 orang.
Satu setengah jam pertama, paparan dari para pembicara berlangsung dengan lancar, peserta diskusi pun menyimak sambil mengajukan pertanyaan lewat kolom obrolan atau "chat" di aplikasi.
Kegaduhan muncul begitu sesi tanya jawab dibuka, semula diperkirakan beberapa peserta lupa mematikan mikrofon sehingga suara mereka masuk ke forum diskusi. Kecurigaan muncul ketika lebih banyak orang yang berbicara dalam waktu yang bersamaan, dalam bahasa Inggris, beberapa diantara mereka bahkan mengaktifkan video, memperlihatkan aktivitas seperti sedang merokok hingga memuat gambar-gambar bermuatan pornografi.
Hal semacam ini sering disebut zoombombing, terjadi berulang kali di seluruh dunia. Zoombombing adalah bentuk ancaman pada para pengguna zoom.
Para peretas masuk lewat link yang disebarkan maupun celah keamanan yang ada. Sekali masuk, para peretas bisa mengirimkan berbagai file dalam meeting tersebut. Hal inilah yang kemungkinan terjadi dalam zoom meeting di Wantiknas.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengatakan jajaran ring 1 istana seharusnya memakai alternatif lain dari Zoom. Menurutnya, istana perlu meminta BSSN untuk memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terkait keperluan video conference.
“Zoom sendiri sebenarnya sudah memberikan update yang cukup krusial, namun kemungkinan belum banyak diketahui penggunanya. Seperti fitur enable waiting room, jadi peserta harus mendapatkan approval terlebih dahulu saat mau masuk ke meeting,” ujar chairman lembaga riset Indonesia CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Dengan update nantinya hanya host yang bisa melakukan share screen, sehingga kejadian adanya tayangan porno saat rapat Dewan TIK Nasional tidak lagi terjadi. Hal ini memang harus diperhatikan benar oleh penyelenggara negara dan pemakai zoom lainnya.
“Update dari zoom tidak serta merta menutup semua celah keamanan yang ada. Jadi perlu terus menerus dilakukan test serta cek oleh zoom dan pihak ketiga. Karena peretasan terhadap akun zoom marak dilakukan, artinya ada celah keamanan yang mudah dieksploitasi oleh peretas,” ucap mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pratama berharap pemerintah melalui BSSN maupun Kominfo bisa melahirkan aplikasi video conference yang bisa dipakai oleh negara. Syaratnya mudah, harus memperhatikan aspek keamanan.
“Aplikasi video conference yang private, chat dan media sosial serta email sebaiknya memang kita coba membuat sendiri. Tidak tergantung dari luar, peristiwa rapat zoom Wantiknas jelas menjadi bukti bahwa hal ini perlu dilakukan,” terangnya.
Untuk jangka pendek, Pratama menilai penyelenggara negara perlu memakai aplikasi yang terbukti aman dan harus zero issues. Untuk jangka panjang Indonesia harus mempunyai aplikasi video conference buatan anak bangsa yang aman dan bisa dipakai secara luas.