Selasa 07 Jan 2020 17:03 WIB

Kali Kedua, Astronom Deteksi Gelombang Gravitasi

Ada tiga skenario yang mungkin terjadi dari deteksi gelombang gravitasi.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Dwi Murdaningsih
gelombang gravitasi yang ditangkap ilmuan dengan LIGO
Foto: LIGO/Science Alert
gelombang gravitasi yang ditangkap ilmuan dengan LIGO

REPUBLIKA.CO.ID, HONOLULU — Untuk kedua kalinya, para astronom mendeteksi gelombang gravitasi dari tabrakan dua bintang neutron. Dua bintang neutron yang bertabrakan itu disebut lebih besar daripada semua pasangan bintang biner yang diketahui.

Mereka bertabrakan sejauh 520 juta tahun cahaya. Tabrakan itu terjadi jutaan tahun lalu. Dilansir di cnn.com pada Senin (6/1), para astronom mengumumkan penemuan itu dalam pertemuan tahunan ke-235 American Astronomical Society di Honolulu, kemarin. Mereka mengatakan temuan itu menantang teori tentang bagaimana pasangan bintang neutron terbentuk dan bergabung.

Baca Juga

Pada 25 April 2019, Laser Interferometer Gravitational-wave Observatory (LIGO) di Livingston, Louisiana menangkap sinyal dari gelombang gravitasi di ruang angkasa. Pada awalnya, instansi itu tidak yakin apa yang menyebabkan gelombang gravitasi.

Saat itu, ada tiga skenario yang mungkin terjadi, yakni, tabrakan bintang neutron dan lubang hitam, tabrakan antara dua bintang neutron masif, atau tiga potensi merger lubang hitam.

Deteksi pertama gelombang gravitasi yang diciptakan tabrakan bintang neutron dilakukan pada Agustus 2017. Saat itu merupakan kali pertama gelombang gravitasi, logam berat seperti emas dan platinum, serta cahaya diamati dalam peristiwa yang sama. Meskipun tidak ada cahaya yang terdeteksi dalam tabrakan April 2019, para peneliti menyadari benda-benda dengan massa tinggi luar biasa menciptakan gelombang tersebut.

“Dari pengamatan konvensional dengan cahaya, kita sudah mengetahui 17 sistem bintang neutron biner di galaksi kita dan kami memperkirakan massa bintang-bintang ini,” kata rekan penulis studi dan anggota tim LIGO yang berbasis di University of Oregon, Ben Farr.

Dia menjelaskan massa gabungan biner tersebut jauh lebih tinggi dari yang dibayangkan. Studi tim telah diserahkan ke The Astrophysical Journal Letters, yakni jurnal utama untuk publikasi cepat dari penelitian astronomi.

Detektor LIGO adalah yang melihat sinyal pertama gelombang gravitasi pada 16 Februari 2016, serta tabrakan bintang neutron yang diamati pertama kali pada 2017. Peristiwa itu kemudian memulai penelitian bidang astronomi baru yang melibatkan gelombang gravitasi.

Bintang-bintang neutron adalah yang terkecil di alam semesta, sisa-sisa supernova. Mereka memiliki diameter sebanding dengan ukuran kota, seperti Chicago atau Atlanta, tetapi sangat padat dengan massa lebih besar dari matahari.

Coba pikirkan matahari, terkompresi menjadi kota besar, kemudian memikirkan dua dari mereka menabrak satu sama lain. Para astronom mengungkapkan massa gabungan kedua bintang neutron adalah 3,4 kali massa matahari. Namun, pasangan bintang neutron yang diketahui di galaksi manusia, hanya mencapai sekitar 2,9 kali massa matahari.

Para peneliti mengatakan tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa objek lain dalam tabrakan itu adalah lubang hitam, atau jenis tabrakan lainnya yang tidak diketahui. Lubang hitam lebih berat daripada bintang neutron, tetapi dalam skenario khusus itu, lubang hitam harus sangat kecil. Berdasarkan data tersebut, para peneliti merasa yakin tabrakan itu terjadi antara dua bintang neutron yang luar biasa besar.

Pasangan bintang neutron terbentuk ketika dua bintang masif dalam sistem biner berakhir. Di waktu lain, bintang-bintang neutron yang terbentuk secara terpisah dari satu sama lain berkumpul di orbit dalam lingkungan yang padat dan dipenuhi bintang. Sekarang, para astronom memiliki tugas mengungkap misteri tentang bagaimana sistem massa yang sangat tinggi itu terbentuk.

“Ini mengarah pada kemungkinan menarik bahwa sistem biner lama yang kami temukan, terbentuk secara berbeda dengan yang diamati di Bima Sakti, dan bintang biner neutron sebesar ini mungkin tidak dapat dideteksi survei teleskop saat ini,” ujar tim peneliti dan penulis dari Universitas Nasional Australian, Susan Scott.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement