Selasa 10 Oct 2017 16:16 WIB

Waspadai Peredaran Software Palsu

Rep: Desy Susilawati/ Red: Winda Destiana Putri
Malware
Malware

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Studi malware terbaru berjudul Cybersecurity Risks from Non-Genuine Software dari Fakultas Teknik National University of Singapore (NUS) mencatat 92 persen perangkat komputer dan laptop yang menggunakan software palsu terinfeksi malware. Studi yang diprakarsai oleh Microsoft ini diselesaikan pada bulan Juni 2017 dan mencakup wilayah Asia Pasifik.

Studi ini fokus pada risiko infeksi malware pada perangkat lunak dari penggunaan perangkat lunak bajakan serta eksploitasi aktif oleh penjahat siber dari malware tersebut. Assistant General Counsel, Digital Crime Unit, Microsoft Asia, Keshav S. Dhakad, menyebutkan, malware yang menyerang komputer pengguna software ilegal itu berasal dari CD/DVD bajakan, produk software dan sistem operasi bajakan.

"Sebanyak 61 persen DVD/CD bajakan terinfeksi malware, produk software bajakan 42 persen terjangkit malware, sistem operasi ilegal 29 persen terjangkit malware, gim and apps 19 persen, dan bahkan software antivirus bajakan juga suah terinfeksi malware 17 persen," jelas Keshav dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Selasa (10/10).

Keshav menjelaskan, saat ini interkoneksi melalui jaringan internet telah menjadi sebuah kebiasaan. Bahkan sudah menjadi kebutuhan dan keharusan seperti transformasi digital dari bisnis, menjaga keterikatan dengan customer, pengembangan SDM, peningkatan sistem operasi.

"Tetapi semua itu butuh keamanan," katanya. Namun, lanjutnya, masih banyak yang belum paham dengan teknik serangan dari penjahat siber baik melalui email, serangan trojan, pembentukan backdoor, transaksi bitcoin, dan lain-lain.

Mencermati temuan tersebut, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Justisiari P. Kusumah mengatakan, risiko besar bagi Indonesia yang notabene pengguna internet terbesar keempat di dunia, adalah serangan terhadap data nasabah, seperti yang saat ini tengah ditangani pihak Bareskrim Polri.

"Itu baru jual beli data nasabah, bagaimana kalau pelaksanaan transaksi juga bisa di-hack melalui infeksi malware? Ini bisa mengancam jaringan industri keuangan," ujar Justisiari.

Dia menyebutkan, dari studi yang sama kerugian dan bahaya, baik di tingkat konsumen atau pada bisnis dan kantor pemerintah sangat besar dan fatal, terbukti dengan berbagai penelitian kasus pelanggaran data secara global. "Studi juga menunjukkan bahwa biaya untuk berinvestasi pada program perangkat lunak asli dan terbaru jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerugian aktual yang dialami karena pencurian data rahasia dan informasi pribadi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement