REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar keamanan siber Dr Pratama Persadha mengingatkan kepada publik untuk mewaspadai teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) karena berdampak besar pada keamanan siber. Pratama menjelaskan, Generative AI atau Gen AI adalah sebutan untuk teknologi kecerdasan buatan yang mampu menghasilkan konten, gambar, teks, atau data baru yang memiliki karakteristik seperti manusia.
"Gen AI telah diterapkan dalam berbagai bidang seperti pembuatan gambar realistis, pembuatan teks, bahkan untuk keperluan keamanan siber," kata Pratama ketika memprediksi ancaman siber pada 2024, Senin (1/1/2024).
Diungkapkan pula, ancaman phishing (pengelabuan) dan short message service (SMS) atau layanan pesan teks mungkin lebih sulit dikenali karena lebih sedikit kesalahan ejaan dan kesalahan tata bahasa. Dengan akses ke informasi seperti nama, perusahaan, dan jabatan, menurut dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK ini, penyerang dapat menggunakan AI untuk lebih mudah menargetkan lebih banyak orang dengan email pribadi yang disesuaikan untuk mereka.
Pratama yang juga Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC memperkirakan pada 2024 serangan ransomware atau perangkat pemeras akan menjadi lebih canggih. "Perkembangan serangan ransomware dengan teknik dan taktik yang lebih canggih, termasuk penggunaan teknologi kecerdasan buatan dan enkripsi yang lebih kuat," kata dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini.
Begitu pula, lanjut dia, serangan APT (advanced persistent threat) yang lebih terfokus pada sektor-sektor kritis, pemerintahan, dan bisnis-bisnis besar dengan tujuan spionase dan pencurian data sensitif. Pratama memperkirakan pada 2024 bakal terjadi perluasan serangan supply chain (SC) atau rantai pasok.
Peningkatan serangan terhadap rantai pasokan untuk merusak integritas perangkat lunak dan perangkat keras yang digunakan oleh organisasi dan individu. Selain itu, pada 2024, kata Pratama, negara-negara akan melakukan operasi siber demi keuntungan geopolitik.
Prioritasnya termasuk ambisi geopolitik, pembangunan ekonomi kebutuhan, dan persaingan dengan pesaing regional serta pengumpulan intelijen dan şerangan yang mengganggu, terutama menargetkan mata uang kripto untuk mendanai operasi spionase.