REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah plastik terbanyak di dunia. Menurut penelitian Jambeck et. al (2015) bahwa Indonesia berada pada peringkat kedua negara penghasil sampah plastik di dunia dengan jumlah 187,2 juta ton per tahun setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton per tahun.
Hal tersebut disebabkan penggunaan kantong plastik oleh masyarakat sangat tinggi. Kantong plastik konvensional dibuat dengan minyak bumi yang merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak terbaharui dan jumlahnya semakin menurun.
Konsumsi plastik juga menimbulkan berbagai masalah terutama masalah lingkungan. Kantong plastik membutuhkan waktu 100 tahun untuk terurai karena tidak dapat diuraikan dengan cepat dan alami oleh mikroba penghancur di dalam tanah. Alternatif untuk menangani hal tersebut adalah dengan mengembangkan produk plastik yang ramah lingkungan.
Ari Bima Putra mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Ketua Program Kreativitas Mahasiswa, Penelitian (PKM-P) beserta tim terdiri dari Mar’atus Solikhah, Asri Soviana Boang Manalu dan Mishbahul Khoiron Gumelar termasuk beberapa yang terdorong untuk membuat produk plastik ramah lingkungan atau disebut bioplastik.
Bioplastik merupakan produk plastik yang terbuat dari bahan yang mudah teruraikan. Disebut juga dengan plastik biodegradable. Keuntungan dari bioplastik yaitu mengurangi limbah plastik yang jumlahnya semakin banyak. Bioplastik dirancang untuk memudahkan proses degradasi terhadap reaksi enzimatis mikroorganisme seperti bakteri dan jamur.
Ari mengatakan, latar belakang memilih topik ini adalah mengembangkan produk plastik biodegradable berbahan dasar bambu sebagai hasil hutan non-kayu. Selain itu juga sebagai solusi untuk mengurangi penggunaan plastik konvensional berbahan minyak bumi.
Salah satu bahan yang berpotensi dijadikan bioplastik adalah selulosa bambu betung (Dendrocalamus asper). Itu karena keberadaan bambu di Indonesia cukup banyak.
Kadar holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) bambu betung cukup tinggi yaitu sebesar 83.8 persen. Selulosa yang tinggi mengindikasikan serat yang kuat, warna lebih putih, relatif tahan terhadap bahan kimia dalam pemisahan dan pemurniannya.
Keberadaan bambu betung di Indonesia juga cukup banyak sehinggga sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku bioplastik yang ramah lingkungan.
Mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan (Fahutan) ini menjelaskan tahapan dari penelitian ini adalah diawali dengan studi literatur, persiapan alat dan bahan, pulping, isolasi selulosa, sintesis bioplastik, dan diakhiri pengujian (uji tarik dan uji kubur).
“Sekarang sudah sampai tahap sintesis bioplastik. Hasilnya didapatkan selulosa yang tidak terlalu bersih karena kita tidak melakukan proses bleaching. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan pers diterima Republika.co.id, Senin (12/6).
Penelitian ini diharapkan menghasilkan bioplastik berbahan selulosa bambu betung yang kuat dan mudah terdekomposisi. “Harapannya produk bioplastik ini dapat dikembangkan di Indonesia sebagai substitusi plastik konvensional,” ujarnya.