REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian melalui Balai Besar Pascapanen mengembangkan teknologi nanoselulosa sebagai campuran produksi bioplastik yang mampu mempercepat waktu urainya. Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry menyatakan, bioplastik nanoselulosa ini ramah lingkungan dan mudah terurai secara alami dalam waktu 60 hari.
"Penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku nanoselulosa mampu mengurangi pencemaran akibat limbah yang tidak tertangani dengan baik," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Fadjry menjelaskan, produk nanoselulosa dihasilkan dari limbah biomassa pertanian, seperti tandan kosong kelapa sawit, tongkol jagung, daun nenas, dan jerami padi. Bahan nanoselulosa tersebut dicampurkan pada proses produksi bioplastik.
Bioplastik umumnya diproduksi dari pati, khususnya pati singkong. Namun, menurut Fadjry, bioplastik yang ada di pasaran saat ini masih memiliki kekurangan, yaitu daya kuat tariknya yang rendah serta permeabilitasnya yang tinggi.
Menurut Fadjry, penambahan nanoselulosa dari limbah pertanian dari hasil penelitian Balitbangtan mampu meningkatkan kuat tarik sekaligus menurunkan permeabilitas bioplastik. Dia mengakui bahwa biaya atau harga jual bioplastik umumnya 3 sampai 3,5 kali lebih mahal dari plastik konvensional atau sekitar tujuh ratus rupiah sampai dua ribu rupiah per kantong.
"Namun, dengan keunggulannya terhadap kelestarian lingkungan diharapkan ke depan ada intervensi pemerintah untuk dapat menurunkan harga bioplastik agar bisa bersaing dengan produk plastik konvensional," kata Fadjry setelah meluncurkan produk bioplastik berteknologi nano di Gedung Sadikin Sumintawikarta, Kantor Pusat Pertanian Bogor pada 22 Agustus 2019.