REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemakaian jaringan secara bersama dalam skema network sharing (NS) oleh beberapa operator telekomunikasi, dikatakan sebagian pihak merugikan negara sebab kerjasama business to business ini menghilangkan peran negara dalam penyewaan jaringan milik tanah air. Namun demikian, Pengamat Persaingan Usaha dan Mantan Anggota BRTI, Bambang Widiantono melihat ada yang salah dengan penilaian tersebut.
Pasalnya, skema NS memiliki tujuan akhir untuk memangkas harga layanan pada konsumen. Melalui NS memungkinkan operator-operator bermitra untuk menggunakan jaringan secara bergantian. Sehingga keliru jika dikatakan bentuk kerjasama itu merugikan negara, sementara hal tersebut memberi keuntungan pada rakyat Indonesia dengan tarif murah.
"Tujuan negara kan untuk mensejahterakan rakyat. Kalau tarif murah itu ya yang sejahtera rakyat. Yang jelas rakyat harus makmur," ujar Bambang kepada wartawan, Jumat (1/7).
Menurutnya, prioritas keuntungan yang berpedoman pada rakyat bahkan telah ditulis di Undang-Undang. Ada Pasal 33 di Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menjamin kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama perekonomian bangsaa. Sehingga industri yang bersikap efisien dengan mempertimbangkan keuntungan rakyat tidak bisa dituduh merugikan negara.
Terlebih, ada pemanfaatan maksimal dari jaringan sebagai fasilitas yang disewakan negara pada operator untuk melayani masyarakat. "Malah kalau nganggur tidak terpakai, itu yang justru jadi kerugian negara, karena tidak terpakai. Kerugian ekonomi," tegasnya.
Lebih jauh, ia juga menyoal iklim usaha di sektor telekomunikasi yang terlihat sangat tidak sehat. Utamanya ketika ada operator tertentu yang memanfaatkan jaringan negara secara optimal dan menetapkan tarif secara sewenang-wenang. Ada posisi dominan dan perusahaan monopoli yang saling terkait dalam permasalahan ini.
Padahal, lazimnya perusahaan monopoli harus bisa memberikan ruang bagi pelaku usaha lain memanfaatkan back-bone yang dipakai. Bambang menganalogikan hal tersenbut sebagai jalaan tol, tidak mungkin jalan yang sudah mengorbankan lahan luas untuk membangunnya, hanya boleh dimanfaatkan satu mobil. Semua seharusnya bisa memakai fasilitas tersebut sesuai aturan, dengan membayar harga sewa.
"Kita bicara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, soal persaingan usaha di Pasal 17 itu jelas. Bahwa yang memiliki posisi monopoli harus memberi kesempatan pada yang lain untuk masuk di situ," tuturnya.
Untuk itu, ia meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencermati hal tersebut. "Dominan dan monopoli. Ini perlu disorot habis-habisan oleh KPPU," pungkasnya.
Senada hal itu, Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, juga menilai skema network sharing dapat menciptakan efisiensi sehingga mengurangi impor perangkat base transceiver station (BTS). “Tidak berdasar jika ada pandangan bahwa network sharing berpotensi mengurangi PNBP dari BHP frekuensi. Kebijakan network sharing dengan sharing perangkat BTS akan sangat menghemat belanja BTS sehingga mengurangi impor,” kata Nonot Harsono.
Nonot juga menyoroti betapa pentingnya kedaulatan nasional dalam hal penyediaan backbone nasional. Mastel tidak ingin jika penyedia jaringan bakcbone di Indonesia diserahkan ke pemain asing. Sayangnya, banyak pemangku kepentingan yang belum mengetahui betapa pentingnya Telkom sebagai penyedia backbone nasional.
"Amat penting bagi penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan untuk menyadari perbedaan peran antara Telkom dengan operator lainnya. Meski peran besarnya menjadi kabur karena selain sebagai backbone nasional, Telkom juga melayani masyarakat secara langsung," kata Nonot.
Selain Telkom, pemain operator lain juga harus berperan untuk membangun jaringan akses. "Penataan jaringan nasional yang baik dan benar akan menempatkan BUMN Telkom sbg jalan TOL broadband nasional. Sementara puluhan pemain akses fokus membangun jaringan akses, yang bisa berupa ribuan BTS di ujung-ujung jaringan milik PT Telkom," lanjutnya.
Tidak pantas pula backbone nasional ini diberikan kepada Google-fiber atau pun kongsi Microsoft-Facebook yang bila indonesia masuk ke TPP (trans pacific partnership), sangat mungkin dua raksasa itu meminta izin utk membangun jaringan fiber optik disini.
"Jika itu terjadi, bisa berakhir dominasi Telkom dan kedaulatan cyber makin jauh dari jangkauan tangan Indonesia," ungkapnya.