Senin 08 Aug 2011 09:39 WIB

Penataan Frekuensi 3G, Untuk Siapa?

Menara Komunikasi Telkomsel
Foto: ANTARA
Menara Komunikasi Telkomsel

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rencana pemerintah melakukan penataan frekuensi 3G--frekuensi 2.1 GHZ, memicu kontroversi. Pasalnya dampak penataan akan memberikan keuntungan secara finansial kepada suatu operator dan pada saat yang sama akan menimbulkan beban finansial bagi operator lain.

Rencana penataan ulang frekuensi ini dipicu oleh usulan dua operator, yakni Hutchison CP Telecom Indonesia (HCPT), dan Natrindo Telepon Seluler (NTS/Axis). Keduanya mengajukan tambahan frekuensi masing-masing 5 Mhz. Kabarnya, kedua operator mengajukan tambahan frekuensi secara berdampingan (contigous).

Rupanya, tak hanya HCPT dan Axis yang mengajukan tambahan frekuensi. Telkomsel dan XL sebelumnya mengajukan tambahan frekuensi masing-masing 5 Mhz. Ini merupakan tambahan frekuensi ketiga untuk dua operator itu. Sebelumnya bersama Indosat, Telkomsel dan XL, telah mendapatkan tambahan blok kedua sebesar 5 MHz pada tahun lalu.

Pada frekuensi 2.1 Ghz sendiri saat ini terdapat 11 kanal. Indosat,Telkomsel dan XL memiliki dua kanal. Axis dan HCPT memiliki satu kanal. Masih tersisa tiga blok kanal, salah satu diantaranya digunakan sebagai guardband frekuensi Smart Telecom. Smart menggunakan frekuensi 1800 untuk layanan telekomunikasinya. Kabarnya frekuensi yang digunakan Smart berstatus pinjaman, karena untuk layanan berbasis CDMA harus menggunakan frekuensi 800 Mhz.

Dari empat permintaan tambahan yang masuk, regulator kabarnya lebih merespion HCPT dan Axis. Lebih dari sekadar merespon tambahan frekuensi, regulator--dalam hal ini Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)--, berencana mengatur ulang kanal 4,5 dan 6. Dalihnya, operator memiliki frekuensi contiguos sebagaimana dianjurkan International Telecommunication Union (ITU.

Bila penataan frekuensi merujuk pada ITU, timbul pertanyaan mengapa alokasi frekuensi 3G tidak disiapkan sejak pemerintah membuka tender frekuensi 2.1 Ghz sekitar tujuh tahun yang lalu. Atau setidaknya ketika pemerintah membuka tender kedua tambahan frekuensi 3G. Mengapa ketika dua operator mengajukan tambahan frekuensi ketiga dan dua operator mengajukan tambahan frekuensi kedua, muncul ide melakukan penataan frekuensi?

Bila skenario pindah frekuensi diterapkan, operator 3G memang akan mendapatkan frekuensi contiguous. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa dalam penataan kebijakan ini BRTI justru minta Telkomsel --yang telah memiliki dua frekuensi melalui mekanisme tender--, pindah frekuensi. Bukan dua pemohon yang harus pindah frekuensi yakni HCPT dan Axis.

Bila Telkomsel harus pindah frekuensi, operator yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Telkom Indonesia ini harus merogoh kocek puluhan miliar untuk membiayai pindah frekuensi. Lebih dari sekadar merogoh kocek, peralihan frekuensi juga akan menimbulkan dampak pada layanan berbasis 3G. Ini akan berdampak pada lebih dari 40 persen jumlah pelanggan Telkomsel, yang secara kumulatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan pelanggan HCPT dan Axis.

Ada yang kemudian mengkaitkan kebijakan ini dengan upaya 'pengebirian' Telkomsel yang tengah gencar mengembangkan layanan broadband. Asumsinya, dengan alih frekuensi Telkomsel akan mengalami potensial loss yang sangat besar. Karena proses alih frekuensi membutuhkan waktu. Dalam proses alih frekuensi, layanan akan mengalami gangguan. Telkomsel akan lebih fokus pada masalah teknis, ketimbang melakukan ekspansi dan akuisisi. Pertanyaan berikutnya, berapa pendapatan yang raib selama masa transisi ini, serta potensi pelanggan yang hilang karena layanan yang terganggu.

Dampak alih frekuensi ke 800 Mhz yang dialami TelkomFlexi dan StarOne, boleh jadi menjadi pengalaman berharga bagi industri telekomunikasi maupun regulator. Alih frekuensi tidak saja memberikan beban finansial kepada operator, namun juga menghambat pertumbuhan operator bersangkutan. Hal ini, tentu saja, kontras dengan ambisi pemerintah yang ingin menyediakan akses telekomunikasi bagi seluruh populasi di Indonesia.

Tak mengherankan jika rencana pindah frekuensi mengundang reaksi banyak kalangan. Apalagi dibalik penataan frekuensi muncul sentimen nasionalisme. Maklumlah, Telkomsel adalah BUMN, sementara HCPT dan Axis mayoritas sahamnya dikusai oleh asing.

Anggota DPR RI, Akbar Faisal mengatakan perlu ada perlindungan khusus terhadap perusahaan-perusahaan nasional  sehingga kebijakannya benar-benar bermanfaat bagi bangsa dan negara. "Telkomsel adalah aset  bangsa, seharusnya mendapat perlakukan khusus agar terciptanya pertumbuhan eknonomi nasional, " ungkap Akbar saat berbicara pada Seminar Mencari Format Ideal Frekwensi Masa Depan, pekan lalu di Jakarta.

Akbar mengisyaratkan bahwa penataan frekuensi adalah kebijakan regulator. " Namun harus jelas visinya dalam penataan frekwensi, yaitu berpihak kepada kepentingan nasional, dan operator nasional,'' kata Akbar.

 

Pandangan senada dilontarkan Ketua Citrus, Asmiyati Rasyd.Menurut Asmiati pengelolaan spektrum seharusnya sesuai dengan ultimate goals dari kebijakan persaingan industri strategis ini.  Bukan saja untuk kepentingan pemain tetapi juga harus memberikan manfaat untuk negara dan rakyat banyak.

Prinsip balancing of the interest harus diperhatikan. "Jadi, kebijakan persaingan tidak terlepas dari strategi pembangunan nasional. Yaitu, untuk mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa (Pembukaan dan Pasal 33 UUD1945)," ungkap Asmiati. '' Bila harus pindah, Telkomsel tidak harus pindah dari kanal 4, melainkan operator Axis yang  harus pindah  kanal,'' katanya.

Eddy Satria, Asdep Telematika & Utilities Menko Perekonomian mengamini pernyataan Asmiati, yang mengatakan penataan seharusnya juga dibarengi dengan audit spektrum sebelum penembahan frekwensi diberikan sesuai dengan kriteria dan skala prioritas yang jelas, bukan hanya kesediaan dan kemammpuan membayar lisensi. "Penataan frekwensi jangan terkesan bagi-bagi jatah sekaligus operaor nasional harus dilindungi dalam menghadapai kompetisi dengan pemain global" ungkap Edddy Satria.

 

Masih soal audit frekuensi, Asmiyati menambahkan bhwa Spectrum-Audit dan Refarming Spectrum perlu dilakukan segera.  Karena telah terjadi spectrum hoarding, spektrum yang merupakan SDA yang bernilai trilliunan rupiah tersebut belum produktif.

Sekarang, yang juga perlu dikritisi secepatnya, kata Asmiyati, adalah 200 MHz band spektrum di 2.3 dan 2.6 GHz yang dikuasai pemaian-pemain WiMax dan 150MHz di band 3.3GHz yang dikuasai MNC (TV braodcast). '' Spektrum merupakan SDA yang terbatas, memiliki peran strategis dan bernilai ekonomis tinggi,'' katanya.    

Review Kebijakan Persaingan dan Regulasi ini ditujukan untuk pembenahan pengelolaan spektrum secara keseluruhan. Regulasi MVNO, un-bundling dan spectrum sharing perlu dikaji  sebagai  solusi untuk operator-operator kecil yang sudah terlanjur banyak. "Jadi, tidak semua harus diberi spektrum. Perlu ditetapkan kriteria dan  prioritas yang jelas, apalagi untuk dapatkan band tambahan.

Demikian juga, intervensi pemerintah terhadap predatory pricing, locking-in customer, cross-subsidized and bundling  juga sudah sangat diperlukan karena perang tarif  telah menyebabkan persaingan tidak sehat," ungkap Asmiati.

Rupanya, ada banyak masalah mendesak yang harus diselesaikan ketimbang mengusik alokasi frekuensi yang telah digunakan operator dan didapatkan melalui mekanisme tender terbuka. DPR sendiri, tampaknya mulai tertarik dengan alokasi frekuensi ini.Konon bakal ada hearing khusus soal frekuensi.

Akbar menyatakan perlu dilakukan audit frekuensi. "Aset negara harus dikelola dengan benar.  Kepada siapa frekwensi diberikan, bagaimana mekanismenya, siapa pengelolanya, jangan sampai ada kebijakan yang berbau politis dan ujung-ujung merugikan negara, seperti kasus Century," tegas Akbar.

Ia mengingatkan bahwa suatu kebijakan bisa diaudit kalau itu merugikan. ''Apalagi ini menjelang Pemilu 2014, jangan sampai ada yang bermain di air keruh untuk mendapatkan sesuati dari konflik frekwensi," ujarnya.  Jangan sampai, kata Akbar pemerintah kebablasan, ada upaya liberalisasi frekwensi.

Singkatnya, regulator perlu membuat roadmap yang jelas dan transparan lebih dulu soal frekuensi. Tak hanya frekuensi 2.1 Ghz yang dialokasikan untuk 3G, namun juga frekuensi lain seperti 2.3 Ghz dan 2.5 Ghz, termasuk frekuensi 800 Mhz yang dialokasikan untuk CDMA. Kebijakan tambal sulam seperti sekarang hanya akan merugikan operator dan memicu berbagai rumor yang akan merugikan operator sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement