Kamis 06 Jul 2023 01:52 WIB

Cerita di Balik Perjalanan Alam Semesta yang Sangat Lambat

Waktu di alam semesta dahulu berjalan jauh lebih lambat.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
 Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa waktu di alam semesta dahulu berjalan jauh lebih lambat. /ilustrasi
Foto: tangkapan layar ESO
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa waktu di alam semesta dahulu berjalan jauh lebih lambat. /ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa waktu di alam semesta dahulu berjalan jauh lebih lambat. Para ilmuwan menemukan sebuah proses yang disebut 'pelebaran waktu' beberapa saat setelah terjadinya Big Bang yang diyakini sebagai awal alam semesta.

Pemimpin studi, Geraint Lewis, menjelaskan bahwa kira-kira 12,3 miliar tahun yang lalu waktu berlalu hanya sekitar seperlima dari kecepatan saat ini. Periset dari University of Sydney itu bersama timnya melakukan penelitian dengan mengamati benda kosmik quasar untuk mengetahui waktu sekitar 1,5 miliar tahun setelah Big Bang. Saat ini, alam semesta diperkirakan berusia sekitar 13,8 miliar tahun.

Baca Juga

"Kami tidak benar-benar memahami waktu dan batasannya, dan beberapa hal masih belum dikesampingkan: perjalanan waktu dan lainnya. Masa depan bisa sangat menarik, tapi mungkin juga tidak," ujar Lewis, dikutip dari laman Daily Mail, Rabu (5/7/2023).

Quasar adalah salah satu objek paling terang di alam semesta. Dalam studi ini, quasar digunakan sebagai 'jam' untuk mengukur perbandingan waktu di masa kini dan masa lalu. Quasar berukuran jutaan hingga miliaran kali lebih besar dari matahari di Tata Surya.

Biasanya, quasar berada di pusat galaksi, melahap materi dengan tarikan gravitasinya yang sangat besar. Quasar melepaskan semburan radiasi termasuk semburan partikel berenergi tinggi, sementara piringan materi bercahaya berputar di sekitarnya.

Para peneliti melangsungkan pengamatan yang melibatkan kecemerlangan 190 quasar di alam semesta. Mereka membandingkan kecerahan quasar pada berbagai panjang gelombang dengan quasar yang ada saat ini, menemukan adanya fluktuasi tertentu dalam waktu.

Quasar paling kuno terdeteksi berjalan lima kali lebih lambat. Ilmuwan Albert Einstein, dalam teori relativitas umumnya, menunjukkan bahwa ruang dan waktu saling terkait dan bahwa alam semesta telah mengembang ke segala arah sejak Big Bang.

Berangkat dari situ, Lewis dan timnya mengatakan perluasan terus-menerus ini menjelaskan bagaimana waktu mengalir lebih lambat di awal sejarah alam semesta dibandingkan hari ini. Dari sudut pandang hari ini, satu detik di masa silam akan terasa seperti lima detik. Namun, jika orang yang ada di masa kini dapat dibawa kembali ke waktu itu, satu detik akan tetap terasa seperti detik. "Dalam fisika modern, waktu adalah hal yang rumit," kata Lewis.

Dengan melihat benda-benda yang jauh, para ilmuwan "mengintip" ke masa lalu untuk mengetahui waktu cahaya yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan ruang angkasa. Sebelum ini, para ilmuwan mendokumentasikan pelebaran waktu sekitar tujuh miliar tahun yang lalu, berdasarkan pengamatan ledakan bintang yang disebut supernova.

Mereka mempelajari ledakan supernova di masa lalu (yang berada pada jarak yang sangat jauh dari Bumi) dan menemukan bahwa peristiwa ini terjadi lebih lambat daripada perspektif waktu saat ini. Ledakan bintang individu tidak dapat dilihat pada jarak tertentu, membatasi penggunaannya untuk mempelajari alam semesta awal.

Berbeda dengan supernova, quasar sangat terang sehingga dapat diamati kembali ke tahap awal alam semesta. Tim meneliti kecerahan quasar dari waktu ke waktu, yang terus berfluktuasi dan digabung dengan banyak perhitungan fisika rumit.

"Perubahan kecerahan ini bukan sekadar cerah, pudar, cerah, pudar. Ini lebih terlihat seperti pasar saham, dengan perubahan jangka panjang dan beberapa fluktuasi tajam. Variasi cahaya itu memiliki sifat statistik tertentu. Dan inilah yang kami gunakan untuk mengatur detak setiap quasar," tutur Lewis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement