Rabu 26 Apr 2023 07:27 WIB

Presenter Berita Kini Pakai Teknologi AI, Apa Plus Minusnya?

Ada kekhawatiran yang berkembang akibat kehadiran presenter berita berteknologi AI.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
Media Kuwait telah meluncurkan presenter berita virtual yang dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan (AI)./ilustrasi
Foto: Japan Today
Media Kuwait telah meluncurkan presenter berita virtual yang dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan (AI)./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah diterapkan ke ranah jurnalisme, termasuk di Indonesia. Belum lama ini, salah satu stasiun televisi swasta Indonesia, TV One, telah memperkenalkan dua pembaca berita alias news anchor AI, bernama Sasya dan Nadira.

Sejumlah kantor berita dan media di berbagai negara pun sebelumnya telah unjuk inovasi dengan pembaca berita AI. Sebut saja India, Cina, Rusia, Korea Selatan, dan Kuwait. Penampilan para pembaca berita AI laki-laki dan perempuan yang dihadirkan menyerupai tampilan manusia dan diberi data yang dapat dibaca menggunakan teknologi text-to-speech.

Baca Juga

Dikutip dari laman Deutsche Welle, Rabu (26/4/2023), munculnya pembawa berita kecerdasan buatan itu menandai tonggak sejarah dalam jurnalisme. Sebagian pihak menyebutnya era baru penyiaran berita. Akan tetapi, di saat yang sama juga memantik diskusi dan memicu kekhawatiran.

Saluran berita pertama di dunia yang kontennya dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan, NewsGPT, diluncurkan pada Maret 2023. CEO NewsGPT, Alan Levy, menggambarkannya sebagai "pengubah arah permainan" di dunia penyiaran berita dan media massa. Akan tetapi, kehadirannya disinyalir bisa mengancam pekerjaan para profesional media.

Kritikus media Shailaja Bajpai beropini, seiring berkembangnya robot jurnalisme, ada kekhawatiran yang berkembang tentang dampak dari kehadirannya. "AI pasti akan memiliki pengaruh abadi pada jurnalisme secara umum, namun masih terlalu dini untuk mengatakan seberapa dalam dan seberapa besar perbedaannya," kata Bajpai.

Namun, tetap ada "celah" yang saat ini tak bisa diisi oleh presenter berita AI. Mereka mungkin saja bisa membacakan berita dari data yang sudah ada, tetapi kemungkinan tidak dapat bereaksi dan melakukan debat seperti yang dilakukan pemandu program televisi.

Bajpai yang mencermati perkembangan pertelevisian India selama 30 tahun menyebut penerapan AI di ranah jurnalisme merupakan tantangan besar. Supaya profesi jurnalisme tak terancam, dia menyarankan media mengembangkan jurnalisme naratif, pelaporan di lapangan, dan jurnalisme investigasi.

Itu karena bot AI tidak dapat mereplikasi pengamatan dan pengalaman manusia. "Kita harus siap untuk berubah dan beradaptasi untuk menahan tantangan ini atau binasa dalam upaya itu," ujar Bajpai.

Kolumnis media dan ombudsman Pamela Philipose mengatakan ancaman yang ditimbulkan oleh AI dan aplikasinya sungguh nyata. Penerapan AI di ruang redaksi bukan tidak mungkin akan melakukan tugasnya dengan lebih efisien daripada jurnalis sungguhan.

Banyak profesional media merasakan ketergantungan yang semakin besar pada algoritme dan otomasi itu dapat mengancam kredibilitas jurnalisme. Selain itu, perkembangan AI juga menimbulkan kekhawatiran tentang aspek keamanan dan potensi bias data yang digunakan untuk menghasilkan berita.

"Jangkar dan aplikasi AI dapat memicu kehancuran demokrasi dengan cara yang tidak terbayangkan saat ini. Saya pikir itu harus menjadi kekhawatiran terbesar kita," tutur Philipose.

Pembaca berita Rajdeep Sardesai termasuk pihak yang cemas jika presenter AI dipandang sebagai masa depan menjanjikan. Dia tak sepakat jika AI bakal menggantikan pekerjaan manusia. Menurutnya, teknologi harus dianggap sebagai alat untuk membantu dan bukan sebagai pengganti. "Kita perlu menggunakan AI dan aplikasi mirip ChatGPT untuk membantu fungsi ruang redaksi, bukan menggantikan keterampilan manusia," ungkap Sardesai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement