REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengumumkan sedang menanti respons publik terkait langkah-langkah akuntabilitas potensial untuk sistem kecerdasan buatan (AI). Sebab, sejak ChatGPT mulai menjadi sorotan dan perang AI antar perusahaan teknologi, muncul beragam pertanyaan soal dampak terhadap keamanan dan pendidikan nasional.
Selain menarik perhatian publik, ChatGPT juga menarik perhatian anggota parlemen AS. Ini disebabkan ChatGPT telah menjadi aplikasi konsumen dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah dengan lebih dari 100 juta pengguna aktif bulanan.
Melalui Administrasi Telekomunikasi dan Informasi Nasional (NTIA), badan dari Departemen Perdagangan, menginginkan masukan karena ada kepentingan peraturan dalam mekanisme akuntabilitas AI. Badan tersebut ingin mengetahui apakah ada tindakan yang dapat dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa sistem AI itu legal, efektif, etis, aman, dan dapat dipercaya.
“Sistem AI yang bertanggung jawab dapat memberikan manfaat yang sangat besar, tetapi hanya jika kita mengatasi potensi konsekuensi dan kerugiannya. Agar sistem ini mencapai potensi penuhnya, perusahaan dan konsumen harus dapat memercayai mereka,” kata Administrator NTIA Alan Davidson, dilansir Reuters, Rabu (12/4/2023).
Pekan lalu Presiden Joe Biden mengatakan masih harus dilihat apakah AI itu berbahaya. “Menurut saya, perusahaan teknologi memiliki tanggung jawab untuk memastikan produk mereka aman sebelum dipublikasikan," ujar dia.
ChatGPT yang telah memukau banyak pengguna dengan tanggapan cepat terhadap pertanyaan, dibuat oleh perusahaan OpenAI yang berbasis di California dan didukung oleh Microsoft Corp. NTIA berencana menyusun laporan karena melihat upaya untuk memastikan sistem AI bekerja seperti yang diklaim dan tanpa menyebabkan bahaya.
Pusat Kecerdasan Buatan dan Kebijakan Digital meminta Komisi Perdagangan Federal untuk menghentikan OpenAI mengeluarkan rilis komersial baru GPT-4. Menurut mereka, teknologi itu bias, menipu, dan berisiko terhadap privasi dan keamanan publik.