REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG---Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra mengajak masyarakat dunia sudah saatnya duduk bersama untuk menyepakati berbagai aspek terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam militer.
Seperti juga halnya dengan penggunaannya di sektor lain, kecerdasan buatan membawa potensi sekaligus risiko dalam militer. "Sekarang saatnya untuk duduk bersama sebagai masyarakat dunia untuk menyepakati isu terkait beberapa aspek teknologi baru ini," kata dia lagi.
Seperti juga yang pernah dilakukan sebelumnya untuk senjata nuklir, kimia, dan biologi, kesepakatan soal AI diharapkan bisa dibuat, katanya pula.
Pemerintah Belanda akan menggelar konferensi soal penggunaan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab dalam militer (REAIM 2023) pada 15-16 Februari, di World Forum, Den Haag. Konferensi akan dihadiri perwakilan dari sekitar 70 negara.
Perkembangan kecerdasan buatan dalam militer cukup pesat. "Kita harus pastikan bahwa manusia terlibat dalam pengambilan keputusan," kata dia.
"Tentu saja ini (konferensi REAIM 2023) baru menjadi langkah awal. Kita sudah memulai dan saya yakin ini akan menjadi jalan yang panjang. Langkah pertama itu penting," katanya.
Semua negara, ujar dia, baik negara besar maupun kecil, dengan militer canggih atau tidak, harus paham bahwa teknologi baru kecerdasan buatan akan membentuk masa depan manusia. "Kita belum sampai pada situasi itu. Kita masih berada di tahap awal untuk AI dalam militer," kata dia lagi.
Seperti halnya melakukan perjalanan, dengan respons balik yang bagus, Menlu Belanda optimistis bahwa dunia sudah memulai perjalanan. "Tapi kita juga harus realistis bahwa kita memasuki teritori yang tidak kita tahu sebelumnya. Dengan perkembangan di bidang AI saat ini, mungkin belum akan ada konklusi akhir," ujarnya.
Sebuah "seruan untuk bertindak" diharapkan bisa dirumuskan dalam konferensi dan disepakati oleh semua negara yang terlibat. "Meski belum ada kesepakatan terkait isu ini, semua negara diharapkan bisa hadir dan saya akan mendorong dirumuskannya sebuah kesepakatan yang ditandatangani semua negara," kata Wopke.
Sebelumnya,Kepala Bidang Perdagangan Senjata Organisasi Perdamaian Belanda PAXFrank Slipjer mendesak masyarakat dunia untuk segera merumuskan pakta mengenai senjata otonom penuh (AWS), untuk memastikan bahwa manusia masih memegang kendali utama dalam penggunaan senjata berbasis kecerdasan buatan.
Belanda, kata dia, perlu melangkah ke depan untuk mendukung pakta mengenai penggunaan senjata otonom penuh berbasis kecerdasan buatan (AI) ini.
Palang Merah Internasional (ICRC) mendefinisikan senjata otonom penuh sebagai sistem persenjataan yang memiliki otonomi dalam situasi kritis.
Senjata ini memiliki kemampuan untuk memilih dan menyerang target tanpa keterlibatan manusia dan hanya berdasar data sensor. Artinya, manusia tidak tahu secara spesifik objek yang akan diserang, serta waktu dan tempat serangan.