Selasa 14 Feb 2023 13:05 WIB

Waduh, Kecerdasan Buatan Bisa Disalahgunakan untuk Rancang Senjata Biologis

Kecerdasan buatan dapat berubah jadi senjata kimia dan biologi yang sangat beracun.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Natalia Endah Hapsari
Teknologi kecerdasan buatan dapat disalahgunakan untuk merancang senjata kimia dan biologi yang sangat beracun/ilustrasi.
Foto: Unsplash
Teknologi kecerdasan buatan dapat disalahgunakan untuk merancang senjata kimia dan biologi yang sangat beracun/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Para ilmuwan memperingatkan bahwa kecerdasan buatan dapat disalahgunakan untuk merancang senjata kimia dan biologi yang sangat beracun. Algoritma komputer adalah teknologi yang digunakan untuk kebaikan, seperti mengidentifikasi bentuk baru antibiotik dan obat untuk melawan infeksi Covid-19.

Namun, empat peneliti yang terlibat dalam penemuan obat berbasis AI telah menemukan bahwa teknologi tersebut dapat dengan mudah dimanipulasi untuk membuat alat beracun. Dilansir Daily Mail pada Selasa (14/2/2023), keempatnya diminta oleh Swiss Federal Institute for Nuclear, Biological and Chemical Protection untuk melihat apakah AI dapat digunakan oleh mereka yang memiliki motif tersembunyi.

Baca Juga

Penelitian menemukan bahwa AI mereka menghasilkan 40 ribu obat yang berpotensi beracun dalam enam jam. Ilmuwan menyoroti keprihatinan mereka dalam Jurnal Nature Machine Intelligence.

Penulis utama makalah tersebut, Fabio Urbina mengatakan bahwa penelitian tersebut membuat mereka sadar bahwa alih-alih menjauh dari toksisitas, bagaimana jika merangkul ke toksisitas. Kemudian, AI mereka mulai memproduksi semua molekul beracun ini, yang banyak di antaranya terlihat seperti alat perang kimia.

Beberapa molekul lebih beracun daripada VX, alat saraf yang dikembangkan oleh Defence Science and Technology Lab di Inggris pada 1950-an, yang membunuh dengan kelumpuhan otot. ''Kekhawatirannya adalah betapa mudahnya (membuat senjata kimia) itu. Banyak hal yang kami gunakan ada di luar sana secara gratis. Anda dapat mengunduh kumpulan data toksisitas dari mana saja,” kata Urbina, yang merupakan peneliti dari Collaboration Pharmaceuticals di North Carolina, AS. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement