REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika menilai regulasi registrasi nomor International Mobile Equipment Identity (IMEI) yang berlaku selama dua tahun belakangan menyelamatkan industri ponsel dalam negeri dan melindungi masyarakat dari perangkat ilegal. Sejak regulasi registrasi IMEI berlaku efektif per 15 September 2020, Kementerian Kominfo menilai industri ponsel dalam negeri terlindungi karena tidak ada disparitas harga akibat peredaran ponsel di pasar gelap (black market).
"Tujuannya untuk menjamin persaingan sehat industri dalam negeri," kata Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Standardisasi Pengendalian Pos dan Informatika Nur Akbar Said, saat paparan kepada jurnalis di Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Ponsel yang beredar di pasar gelap pada umumnya dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan ponsel resmi. Akibat praktik itu, harga ponsel di pasaran menjadi terganggu.
Data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, yang dikutip Kementerian Kominfo, menunjukkan ada peningkatan pendapatan negara dari bea masuk berkat regulasi registrasi IMEI.
Pada 2019, sebelum ada regulasi registrasi IMEI, pendapatan negara dari bea masuk berjumlah Rp 722 miliar. Pada 2020, ketika regulasi IMEI baru berlaku, pendapatan negara dari bea masuk senilai Rp 1,5 triliun.
Tahun 2021, pendapatan negara dari bea masuk senilai Rp 2,3 triliun. Hingga pertengahan 2022, menurut Akbar, pendapatan negara dari bea masuk sudah mencapai nilai pada 2021. Pemerintah menaksir kerugian negara dari ponsel pasar gelap mencapai Rp 2,8 triliun per tahun.
Selain menjamin keberlangsungan industri ponsel, regulasi registrasi IMEI juga untuk menjamin masyarakat membeli perangkat yang legal. Pemerintah, menurut Akbar, terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk membeli ponsel yang resmi supaya perangkat bisa digunakan dengan baik dan mendapatkan garansi. Berdasarkan aturan registrasi IMEI, ponsel dengan nomor IMEI yang tidak terdaftar di Indonesia tidak bisa mendapatkan sinyal seluler.