Senin 30 May 2022 07:28 WIB

China Manfaatkan Google Sebarkan Propaganda Muslim Uighur dan Covid-19?

Beberapa konten di hasil pencarian menutupi upaya kerja paksa China terhadap Uighur.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Google search
Foto: mashable
Google search

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – China mengeksploitasi mesin pencari Barat untuk memengaruhi opini publik di luar negeri. Pemerintah China menempatkan unggahan yang diterbitkan negara tentang penahanan Muslim Uighur dan asal-usul virus corona di bagian atas pencarian Google, Youtube, dan Bing.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Jumat, para peneliti dari Brookings Institution dan Alliance for Securing Democracy (ASD) menemukan sumber-sumber negara secara konsisten berada di urutan teratas untuk hasil pencarian Xinjiang, bagian dari China Barat yang terdiri dari minoritas Uighur.

Baca Juga

Ketika Brookings mengumpulkan data harian selama 120 hari, 12 istilah yang terkait dengan Xinjiang ada dalam sepuluh hasil pertama, sekitar 88 persen penelusuran di Google, Bing, dan Youtube. Beberapa konten itu menutupi upaya kerja paksa China terhadap Uighur yang menurut Departemen Luar Negeri Amerika disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menurut penelusuran Fort Detrick, pangkalan militer di Maryland yang merupakan pusat program senjata biologis Amerika dari awal 1940-an hingga akhir 1960-an, mengembalikan volume tinggi propaganda China yang mempromosikan narasi konspirasi tentang fasilitas yang menjadi sumber sebenarnya dari virus corona.

Sementara di Youtube secara teratur mengembalikan konten yang didukung negara dengan 619 pengamatan video dari outlet media Pemerintah China yang muncul di 10 besar.

Di China, Google Search dan Youtube dilarang sementara Bing Microsoft beroperasi di China, tetapi menangguhkan beberapa elemen layanan untuk mematuhi undang-undang negara tersebut. Strategi mesin pencari China menunjukkan mereka bersedia menggunakan alat-alat Barat untuk memengaruhi pengguna di luar negeri.

Taktik pencarian China bertujuan untuk menegaskan dominasi naratif melalui propaganda eksternal yang ditujukan untuk audiens asing. “Masalahnya adalah media pemerintah China yang tidak benar-benar terikat pada kendala sumber daya atau umpan balik audiens, dapat menghasilkan propaganda dalam jumlah besar tentang konspirasi yang ingin dipromosikannya," kata peneliti Brookings Jessica Brandt, dikutip CNet, Ahad (29/5).

Manajer komunikasi kebijakan di Google Ned Adriance mengatakan, Google mencoba memerangi pengaruh terkoordinasi dan operasi penyensoran sambil menyeimbangkan kebebasan berekspresi.

“Beberapa permintaan pencarian yang digunakan dalam penelitian ini adalah istilah yang kurang umum yang mungkin menjelaskan alasan sumber China berada di hasil teratas,” kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement