Jumat 29 Apr 2022 08:54 WIB

Gunung Berapi Bawah Laut di Antartika Picu 85 Ribu Gempa Bumi

Gempa terjadi mulai Agustus 2020 dan mereda pada bulan Oktober.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani /MGROL136/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Gempa
Foto: Pixabay
Ilustrasi Gempa

REPUBLIKA.CO.ID, ANTARTIKA -- Sebuah gunung berapi bawah laut yang lama tidak aktif di dekat Antartika telah terbangun. Gunung berapi ini memicu 85.000 gempa bumi. Kumpulan gempa yang dimulai pada Agustus 2020 dan mereda pada November tahun itu, adalah aktivitas gempa terkuat yang pernah tercatat di wilayah tersebut.

Gempa itu kemungkinan disebabkan oleh “jari” magma panas yang menyembul ke dalam kerak bumi, demikian temuan penelitian baru.

Baca Juga

“Ada intrusi serupa di tempat lain di Bumi, tetapi ini adalah pertama kalinya kami mengamatinya di sana,” rekan penulis studi Simone Cesca, seorang ahli gempa di Pusat Penelitian Geosains Jerman GFZ di Postdam, mengatakan kepada Live Science.

“Biasanya, proses-proses ini terjadi dalam skala waktu geologis, yang bertentangan dengan rentang hidup manusia. Jadi di satu sisi, kita beruntung melihat ini,” kata Cesca.

Kumpulan itu terjadi di sekitar Orca Seamount, sebuah gunung berapi tidak aktif yang menjulang 900 meter dari dasar laut di Selat Bransfield, lorong sempit antara Kepulauan Shetland Selatan dan ujung barat laut Antartika. Menurut sebuah studi 2018 di jurnal Polar Science, di wilayah ini, lempeng tektonik Phoenix menyelam di bawah lempeng benua Antartika, menciptakan jaringan zona patahan, meregangkan beberapa bagian kerak dan membuka celah di tempat lain, 

Para ilmuwan di stasiun penelitian di Pulau King George, salah satu Kepulauan Shetland Selatan, adalah yang pertama merasakan gemuruh gempa kecil. Berita segera kembali ke Cesca dan rekan-rekannya di seluruh dunia. Beberapa di antaranya berkolaborasi dalam proyek terpisah dengan para peneliti di pulau itu.

Tim ingin memahami apa yang sedang terjadi, tetapi Pulau King George terpencil, dengan hanya dua stasiun seismik di dekatnya. Jadi para peneliti menggunakan data dari stasiun seismik tersebut, serta data dari dua stasiun bumi untuk sistem navigasi satelit global, untuk mengukur perpindahan tanah.

Mereka juga melihat data dari stasiun seismik yang lebih jauh dan dari satelit mengelilingi Bumi yang menggunakan radar untuk mengukur pergeseran di permukaan tanah, penulis studi melaporkan 11 April di jurnal Communications Earth & Environment.

Stasiun terdekat agak sederhana, tapi bagus untuk mendeteksi gempa terkecil. Stasiun yang lebih jauh, sementara itu, menggunakan peralatan yang lebih canggih dan dengan demikian dapat melukiskan gambaran yang lebih rinci tentang gempa yang lebih besar. Dengan menyatukan data ini, tim dapat membuat gambaran geologi yang mendasari yang memicu kumpulan gempa besar ini.

Dua gempa bumi terbesar dalam rangkaian tersebut adalah gempa berkekuatan 5,9 pada Oktober 2020 dan gempa berkekuatan 6,0 pada November. Setelah gempa November, aktivitas seismik berkurang.

Gempa tampaknya menggerakkan tanah di Pulau King George sekitar 11 sentimeter, demikian temuan studi tersebut. Hanya empat persen dari perpindahan itu yang dapat dijelaskan secara langsung oleh gempa bumi. Para ilmuwan menduga pergerakan magma ke dalam kerak sebagian besar merupakan penyebab pergeseran dramatis dari tanah.

“Apa yang kami pikirkan adalah bahwa magnitudo 6 entah bagaimana menciptakan beberapa patahan dan mengurangi tekanan dari tanggul magma,” kata Cesca.

Jika ada erupsi bawah laut di gunung bawah laut, kemungkinan besar terjadi pada saat itu. Namun, ilmuwan tidak menemukan bukti letusan. Untuk mengonfirmasi bahwa gunung berapi perisai besar meledakkan puncaknya, para ilmuwan harus mengirim misi ke selat untuk mengukur batimetri, atau kedalaman dasar laut, dan membandingkannya dengan peta sejarah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement