REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru menjelaskan bagaimana situs batu ikonik Stonehenge mungkin awalnya digunakan sebagai kalender. Temuan baru ini didasarkan pada analisis terhadap jumlah dan posisi batu yang membentuk situs tersebut, serta perbandingan dengan sistem kalender kuno lainnya yang mungkin memengaruhi pembangun Stonehenge.
Studi tentang Stonehenge sebagai cara untuk melacak waktu dan musim telah berlangsung selama berabad-abad. Namun, sampai sekarang masih belum jelas bagaimana cara kerjanya.
Dilansir dari Sciencealert, Kamis (3/3/2022), studi tentang Stonehenge sebagai cara untuk melacak waktu dan musim telah berlangsung selama berabad-abad, tetapi sampai sekarang masih belum jelas bagaimana cara kerjanya.
Penelitian baru dibangun di atas penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa batu sarsen yang membentuk sebagian besar Stonehenge semuanya berasal dari sumber yang sama. Itu berarti mereka mungkin dipasang pada waktu yang sama, dan mungkin dimaksudkan untuk bekerja sama.
Dari titik awal itu, arkeolog Timothy Darvill dari Bournemouth University di Inggris melanjutkan untuk mengamati posisi cincin berbeda yang terdiri dari monumen itu, dan bagaimana mereka mungkin terkait dengan kalender.
Para arkeolog telah lama menduga Stonehenge adalah semacam kalender, karena posisi batu dan keselarasannya dengan titik balik matahari. Penelitian baru menambah bobot interpretasi. Ternyata, kalender yang diusulkan bekerja dengan cara yang sangat mudah.
“Masing-masing dari 30 batu di Lingkaran Sarsen mewakili satu hari dalam sebulan, itu dibagi menjadi tiga pekan masing-masing 10 hari. Bulan kabisat, mungkin didedikasikan untuk dewa-dewa situs, diwakili oleh lima triliton di tengah situs. Empat Station Stones di luar Lingkaran Sarsen memberikan penanda untuk naik hingga hari kabisat,” ujarnya.
Dalam pertanda sebagai kalender matahari, titik balik matahari musim dingin dan musim panas dapat dilihat melalui pasangan batu yang sama setiap tahun. Ini akan bertindak sebagai cara untuk memeriksa kesalahan.