Rabu 02 Jun 2021 10:49 WIB

Terlalu Sering Pakai Zoom Timbulkan Fenomena Zoom Dysmorphia

Banyak orang merasa ada yang salah dengan wajah ketika terlalu sering pakai Zoom.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Salah satu aplikasi yang dijadikan andalan dalam video conference adalah Zoom Video Communications.
Foto: zoom
Salah satu aplikasi yang dijadikan andalan dalam video conference adalah Zoom Video Communications.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama pandemi, Zoom menjadi aplikasi yang paling mencuri perhatian masyarakat global. Dalam perjalanannya, Zoom ternyata tak hanya membantu anak-anak tetap belajar selama sekolah dilakukan di rumah, atau menun jang produktivitas pekerjaan, tapi juga menimbulkan fenomena sosial baru.

Selama bertahun-tahun, Marie, seorang wanita dengan nama samaran yang tinggal di Bay Area, Kalifornia, Amerika Serikat mengalami tingkat kerentanan yang luar biasa. Sehari-hari, ia mengajar bahasa Inggris kepada siswa baru sekolah menengah.

Baca Juga

Menurut Marie, anak usia 14 tahun adalah kelompok usia yang paling gemar menghakimi satu sama lain. "Saya berdiri di depan mereka selama berjam-jam setiap hari dan saya tidak merasakan tingkat kesadaran diri yang mulai saya rasakan, ketika saya harus menggunakan Zoom sepanjang waktu," kata Marie, dilansir dari InsideHook, Senin (24/5).

Saat ini, Marie yang berusia 27 tahun, sedang sibuk bekerja untuk meraih sarjana manajemen proyek. Namun, saat ini Marie terpaksa melakukan banyak sekali panggilan konferensi video.

Sebelum pandemi, dia telah berupaya mengobati gangguan obsesif kompulsif (OCD) dan gangguan kecemasan yang ia alami sejak didiagnosis pada usia 22 tahun. Karena pembatasan sosial yang dipicu oleh Covid-19, untuk pertama kalinya ia menyadari saat ini ia juga tengah mengalami gangguan yang lain.

Marie mengaku, kini ia sangat sensitif dengan penampakan hidungnya. "Saat saya melihat diri saya di Zoom dan pencahayaannya tidak tepat, itu benar-benar memicu rasa kesal saya. Saya selalu memeriksanya," ujarnya.

Marie mengungkapkan, obsesi itu kemudian mengambil alih delapan hingga 12 jam harinya. Pada satu titik, Marie bahkan menjadi yakin dia akan mencari perbaikan hidung tanpa operasi.

Ia pun berupaya keras melawan gejala Zoom dysmorphia agar dapat berinteraksi dengan lebih nyaman di platform tersebut. Zoom dysmorphia adalah bentuk gangguan dysmor hic tubuh, lebih khusus lagi dysmorphia wajah. Ini adalah kondisi di mana seseorang memiliki persepsi yang salah tentang fitur wajah me reka.

Marie ternyata tidak sendiri dalam perjuangan ini. Pada November 2020, dokter kulit bersertifikat Arianne "Shadi" Kourosh mengangkat isu Zoom dysmorphia yang kini ia amati terus mengalami peningkatan. Menurutnya, tren ini terjadi ketika seseorang terpaku pada kekurangan yang dirasakan dalam penampilan mereka yang muncul saat panggilan konferensi video.

"Kehidupan yang dihabiskan secara tidak proporsional di Zoom dapat memicu respons komparatif kritis diri," tulis Kourosh.

Zoom dysmorphia pun kini menjadi populer karena Kourosh memberi nama pada sesuatu yang begitu banyak orang lain di komunitas medis, dan masyarakat pada umum amati. Setelah berkolaborasi dengan empat rekan lain dalam survei terhadap 134 penyedia dermatologis di seluruh Amerika Serikat (AS), data terkait fenomena baru ini pun muncul.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement