Para peneliti mengatakan, data tersebut menekankan risiko infeksi ulang dan mungkin menunjukkan berkurangnya kemanjuran vaksin berbasis spike protein saat ini. Tim menguji plasma sembuh dari pasien virus corona terhadap jenis 501Y.V2, dan 48 persen dari 44 sampel tidak memiliki aktivitas netralisasi yang terdeteksi.
"Data ini juga berimplikasi pada keefektifan vaksin SARS-CoV-2, yang pada prinsipnya didasarkan pada respons kekebalan terhadap spike protein virus," kata makalah tersebut.
Para peneliti mendesak adanya platform desain vaksin yang dapat beradaptasi dengan cepat, sebab target virus bisa saja berubah. Peneliti juga mengingatkan perlunya mengidentifikasi target virus yang tak terlalu cepat bermutasi untuk digabungkan ke dalam imunogen masa depan.
"Penelitian terpisah yang dirilis Selasa lalu juga mengindikasikan vaksin mRNA (seperti yang dikembangkan oleh Pfizer dan Moderna) mungkin memerlukan pembaruan untuk menjaga efektivitas terhadap strain baru," tulis penelitian tersebut.
Temuan itu tidak berarti vaksin yang sudah ada menjadi tak berguna. Pakar imunologi dari University of Pennsylvania, E John Wherry, menyebut, vaksin Covid-19 tetap bermanfaat.
"Jangan berpikir kalau vaksin yang ada usang, karena masih ada perlindungan yang diberikan dengan level proteksi yang bagus," tuturnya.