Sabtu 26 Dec 2020 20:19 WIB

Apa Artinya Nilai CT dalam Tes PCR Covid-19?

Beberapa dokter menggunakan nilai CT untuk menentukan kemungkinan penularan penyakit.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Jurnalis melakukan tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (18/11). Dewan Pers bekerjasama dengan FIF Group dan Djarum Foundation kembali menggelar tes usap untuk 100 pekerja media secara gratis dalam rangka mngantisipasi paparan virus covid-19 dikalangan wartawan. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Jurnalis melakukan tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (18/11). Dewan Pers bekerjasama dengan FIF Group dan Djarum Foundation kembali menggelar tes usap untuk 100 pekerja media secara gratis dalam rangka mngantisipasi paparan virus covid-19 dikalangan wartawan. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi COVID-19 selama lebih dari setahun ini membuat kita harus banyak mendengar istilah-istilah rumit. Istilah rumit ini kadang berkaitan dengan protokol kesehatan, atau berbagai tes untuk mendeteksi infeksi virus corona.

Salah satu istilah yang mungkin sering kita dengan adalah nilai Cycle threshold (CT). Istilah ini sering didengar saat pemeriksaan dengan metode real-time RT-PCR. Cycle threshold (CT) merupakan istilah penting yang digunakan dalam metode ini.

Baca Juga

Menurut Dokter Mikrobiologi Klinik RSUI dr. Ardiana Kusumaningrum, Sp.MK, sebagian laboratorium mengeluarkan hasil yang bersifat kualitatif yaitu menyatakan positif atau negatif saja. Sedangkan laboratorium lain memberikan hasil yang tergolong kuantitatif, yaitu dengan menyatakan nominal dari cycle threshold value atau nilai CT.

"Beberapa dokter menggunakan nilai CT untuk menentukan kemungkinan penularan penyakit lebih lanjut serta menetapkan apakah seseorang perlu melakukan isolasi mandiri lebih lanjut atau tidak," ujar dr. Ardiana dikutip dari penjelasannya di situs RSUI, Selasa (22/12).

Dia menjelaskan, real-time RT-PCR merupakan suatu pemeriksaan molekuler berbasis reaksi rantai polimerase dari sampel klinis pasien. Sampel yang umumnya diambil adalah swab cairan dari hidung serta tenggorokan.

Sampel ini dimasukkan ke dalam tabung khusus berisi cairan untuk menjaga kestabilan materi genetik virus (VTM/virus transport media) dan dibawa ke laboratorium. Selanjutnya sampel akan melalui prosedur ekstraksi, yaitu proses menggunakan kit tertentu untuk mengeluarkan materi genetik virus yang dikehendaki.

Karena virus yang menyebabkan COVID-19 tergolong pada virus RNA, dalam mendeteksi virus ini didahului proses perubahan/konversi dari RNA menjadi DNA. Proses ini difasilitasi oleh enzim reverse transcriptase. Selanjutnya akan dilakukan perbanyakan (amplifikasi) target materi genetik menggunaan mesin real-time PCR.

Berbeda dengan PCR konvensional, real time PCR menggunakan floresensi sehingga setiap terjadi amplifikasi, akan terbentuk sinyal floresens yang akan ditangkap oleh detektor sepanjang proses PCR berlangsung.

Proses amplifikasi tersebut terjadi berulang-ulang, hingga sekitar 40 siklus, dan sinyal floresens yang dihasilkan akan berbanding lurus/proporsional terhadap amplifikasi yang terjadi. Pada satu titik, jumlah sinyal floresens pada proses amplifikasi tersebut mencapai nilai minimal untuk dapat diinterpretasikan sebagai hasil positif. Titik tersebut dinamakan cycle threshold value atau nilai CT.

Jadi, apa pentingnya nilai CT ini?

"Beberapa jurnal menyebutkan bahwa nilai CT ini berbanding terbalik dengan kemampuan virus untuk menular ke orang lain. Artinya, semakin tinggi nilai CT, semakin rendah kemungkinan virus untuk menyebabkan infeksi," kata Ardiana.

Namun, nilai CT yang digunakan dalam berbagai tes dapat berbeda-beda. Ada yang menggunakan nilai cut off CT>34, dan menyatakan dengan nilai CT tersebut virus tidak menimbulkan infeksi. Namun, ada juga yang menggunakan nilai cut off CT >35, >40 hingga >45.

Menurut dr Ardiana, nilai CT yang dihasilkan sangat bergantung dengan beberapa hal teknis. Hal teknis ini mulai dari metode pengambilan sampel, jumlah materi genetik yang terkandung dalam sampel, metode ekstraksi yang digunakan, serta kit PCR yang dipakai.

"Sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan nilai CT sebagai dasar penanganan pasien," kata dr. Ardiana.

Ia menilai bahwa penggunaan nilai CT dapat bermanfaat apabila dikaitkan dengan berbagai aspek, yang dinilai langsung oleh dokter yang menangani pasien. Namun, tanpa pertimbangan yang tepat, nilai CT tidak memberikan manfaat yang signifikan dalam tindak lanjut pengobatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement