Jumat 25 Dec 2020 09:25 WIB

Sampah Popok Ancaman Bagi Lingkungan dan Warga

Popok sekali pakai adalah salah satu penyumbang mikroplastik di kehidupan manusia.

Bayi memakai popok sekali pakai/ilustrasi
Foto: research.fuseink.com
Bayi memakai popok sekali pakai/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Surabaya ternyata miliki permasalahan yang belum kunjung dapat diselesaikan. Masalah itu adalah sampah di sungai. Sampah plastik, terutama popok sekali pakai, mencemari Sungai Kalimas dan Sungai Rungkut, anak Sungai Brantas.

Badan Pusat Statistik menyebutkan, terdapat sekitar 750 ribu bayi yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Brantas. Satu bayi membutuhkan hingga empat popok per hari. Artinya ada tiga juta popok yang dibuang setiap hari.

Baca Juga

Kota Surabaya di Jawa Timur adalah salah satu kota paling hijau di Indonesia. Pada pertengahan tahun 2019 Ruang Terbuka Hijau di Surabaya sudah mencapai luas 7,2 juta hektare atau kurang lebih 21 persen dari keseluruhan luas kota.

Menurut Andreas Agus Kristanto Nugroho, peneliti Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), suatu LSM lingkungan hidup di Gresik, Jawa Timur, kehidupan masyarakat saat ini tidak dapat lepas dari plastik. Popok sekali pakai adalah salah satu penyumbang mikroplastik di kehidupan manusia.

"Kehidupan kita tidak lepas dari plastik. Itu yang akhirnya sangat besar menyumbang mikroplastik yang ada di kita. Popok itu 50 persen bahan bakunya terdiri dari plastik. Ketika perilaku masyarakat membuang popok ke sungai, akhirnya dengan proses alam akan hancur menjadi serpihan-serpihan kecil atau jadi mikroplastik. Itu yang akhirnya akan masuk ke tubuh kita,” kata Andreas.

Dari penelitian yang dilakukan Ecoton, mikroplastik dari polusi sampah bahkan ternyata telah mencemari tubuh warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai tersebut.

"Yang ketika masuk ke tubuh kita si mikroplastik itu akan melepaskan 'penumpang'nya tadi ya pestisida, deterjen, limbah industri, tapi plastiknya sendiri akan keluar lagi memang. Tapi jangan lupa juga bahan plastik itu adalah bahan yang kalau kita bilang bahan-bahan pemicu kanker."

Warga percaya buang popok ke sungai tindakan yang benar

Permasalahan sampah popok yang banyak dibuang ke sungai, tidak lepas dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap beban lingkungan yang ditimbulkan. Selain itu, mitos yang tidak benar terkait kesehatan anak yang dikaitkan dengan pembuangan sampah popok sekali pakai menjadi alasan masih banyaknya masyarakat membuang popok ke sungai.

Pengajar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum mengatakan, ada keyakinan bahwa popok serta barang yang berkaitan dengan bayi tidak boleh terkena panas maupun terbakar karena itu akan berpengaruh pada kondisi kesehatan bayi. Mitos atau kepercayaan ini yang menjadikan orang tua lebih memilih membuang sampah popok ke sungai.

Anita berpendapat, diperlukan kerja sama semua elemen masyarakat, untuk memberi pemahaman bahwa popok sekali pakai yang dibuang ke sungai, tidak ada korelasinya dengan kondisi kesehatan anak.

"Jadi di sini perlu diluruskan, bahwa tidak ada kaitan sama sekali antara pembakaran atau pengolahan lebih lanjut dari popok diapers ini, pada kondisi kesehatan anak, sama sekali tidak ada. Tapi di masyarakat memang berkembang seperti itu. Mereka percaya bahwa dengan membuang popok sekali pakai ke sungai, lebih memberikan rasa aman terhadap kondisi kesehatan anak,” terang Anita.

"Ada responden penelitian saya yang menyatakan, 'kemarin saya buang popok di sampah dan kemungkinan dibawa ke TPA dan besoknya anak saya demam. Besoknya anak saya kulitnya melepuh'. Pendekatan masalah ini tidak bisa ilmiah saja tapi juga sosio-antropologi. Juga harus ada kebijakan yang ketat," jelas Anita lebih lanjut.

Brigade Evakuasi Popok

Menyadari betapa besarnya bahaya dari polusi sampah popok membuat aktivis lingkungan yang tergabung di Ecoton tidak bisa tinggal diam. Mereka membentuk komunitas yang langsung turun ke jalan untuk mengentaskan permasalahan ini, yang diberi nama Brigade Evakuasi Popok. Komunitas ini telah membersihkan secara berkala 16 kabupaten dan kota di sepanjang Sungai Brantas sejak tahun 2017.

Upaya menjaga dan melestarikan sungai tidak hanya demi kelangsungan hidup ekosistem sungai, melainkan juga demi kelangsungan hidup manusia yang bergantung dari air permukaan. Polusi sampah popok yang mencemari sungai, menurut Azis adalah kondisi darurat.

Survei yang pernah dilakukan Ecoton sebelumnya terkait penggunaan popok sekali pakai, satu harinya seorang bayi atau balita menghabiskan 5 sampai 6 popok sekali pakai.

Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2017 menyebutkan, terdapat sekitar 750.000 bayi yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Brantas. Bila diperkirakan setiap harinya satu bayi memakai 4 popok, maka terdapat 3 juta popok bayi yang digunakan setiap harinya.

"Bila sepertiganya saja, katakanlah 1 juta popok bayi yang akan dibuang ke sungai. Ini akan menjadi dampak yang buruk bagi kehidupan sungai, di mana di sungai itu ada ikan, ada beberapa makhluk hidup atau serangga-serangga sungai. Jadi ini akan berpotensi buruk bagi kehidupan sungai dan manusia di sekitar Sungai Brantas,” jabar Azis.

Kampanye popok kain

Selain turun langsung membersihkan bantaran sungai dari sampah popok sekali pakai, Brigade Evakuasi Popok juga mengampanyekan penggunaan popok kain. Mereka menyerukan warga untuk menggunakan popok kain, karena selain penggunaan popok kain menguntungkan secara ekonomis, penggunaan popok yang bisa digunakan kembali berperan untuk menyelamatkan lingkungan dan mengurangi sampah.

"Jadi kita menginisiasi warga, ibu-ibu PKK di sepanjang bantaran sungai untuk mengkampanyekan penggunaan popok kain atau popok yang bisa digunakan kembali. Memang investasi pertama mereka harus beli 10 popok untuk bergantian, tetapi ini akan menimbulkan efek ekonomi buat dua sampai tiga tahun dia pakai popok,” ujar Azis.

"Kalau kita hitung sehari dia menghabiskan Rp. 10.000 untuk beli popok, dan kalau kita kalkulasikan 2 sampai 3 tahun, itu bisa untuk membeli satu sepeda motor. Nah ini yang kita dorong agar mereka beralih ke popok yang bisa digunakan kembali atau popok kain, mindset ini yang kita dorong,” kata dia.

Salah seorang warga Surabaya, Nita Liana, telah mempraktikkan imbauan kampanye popok kain dan menggunakan popok kain kepada bayinya. Menurut Nita, bayinya tak pernah alami gangguan kulit.

"Memang kelemahannya harus sering ganti, kalau dia pipis itu sudah langsung ganti cepat-cepat, kalau dia lagi BAB juga langsung ganti cepat-cepat. Kelemahannya maka kita harus sering cuci."

Walaupun demikian, Nita menyatakan popok kain memberi keuntungan ekonomis. "Kalau kita sebagai orang tua, jelas lebih hemat secara ekonomis. Karena kalau kain setelah dijemur dipakai lagi dan seterusnya, berputar seperti itu. Tapi kalo popok sebulan bisa dua sampai tiga dus itu lho, jadi boros."

Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak mengatakan, upaya penyadaran terhadap masyarakat harus terus dilakukan, agar masyarakat paham mengenai bahaya sampah popok bagi lingkungan. Selain memberi edukasi serta penyadaran, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengakomodasi kelompok-kelompok peduli lingkungan untuk terlibat dalam kampanye besar sungai bebas popok.

Beberapa jembatan yang biasa digunakan untuk membuang sampah popok, telah dipasangi kamerai pengintai beserta papan peringatan untuk tidak membuang sampah ke sungai dan sekitarnya.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pabrik atau industri yang berada di sekitar aliran Sungai Brantas. Ini langkah terpadu untuk memastikan bahwa kualitas air di sungai tersebut terjaga.

"Jadi ada langkah-langkah konkrit yang kami lakukan sebagai ikhtiar untuk perubahan situasi,” imbuhnya.

 

sumber: https://www.dw.com/id/sampah-popok-ancaman-bagi-lingkungan-dan-masyarakat/a-52008541

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement