REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di wilayah Afrika Barat, Sahara, memang tampak hanya ditutupi pasir dan bebatuan kering. Namun, berdasarkan penelitian terbaru dan manfaat kecerdasan buatan, wilayah yang luasnya 30 kali lipat dari Denmark itu, juga menyimpan kehidupan lain.
Penelitian baru-baru ini yang dipimpin tim dari Universitas Kopenhagen dan NASA, telah menghitung lebih dari 1,8 miliar pohon dan semak. Area 1,3 juta km persegi mencakup bagian paling barat Gurun Sahara, Sahel dan apa yang dikenal sebagai zona sub-lembab Afrika Barat.
“Kami sangat terkejut melihat cukup banyak pohon yang benar-benar tumbuh di Gurun Sahara, karena selama ini kebanyakan orang mengira hampir tidak ada. Di gurun saja, kami menemukan ratusan juta pohon,’’ ujar penulis utama artikel ilmiah itu, Asisten Profesor Martin Brandt dari Departemen Geosains dan Manajemen Sumber Daya Alam Universitas Kopenhagen mengutip heritage daily, Rabu (21/10).
Menurutnya, penghitungan kekayaan itu, hanya bisa dilakukan oleh teknologi kecerdasan buatan. Terlebih hal itu, kata dia, juga sekaligus berfungsi untuk menandai awal dari era ilmiah yang baru.
Berdasarkan informasi, hasil penelitian itu dilakukan dengan kombinasi citra satelit terperinci yang disediakan oleh NASA, dan pembelajaran metode kecerdasan buatan yang canggih. Penelitian dan temuan ini, juga menjadi yang pertama kalinya pohon di kawasan lahan kering yang luas dapat dihitung.
“Pohon di luar kawasan hutan biasanya tidak dimasukkan dalam model iklim, dan kita hanya tahu sedikit tentang stok karbonnya,” kata Martin Brandt.
Penelitian ini diklaim bisa berkontribusi untuk lebih memahami keanekaragaman hayati dan ekosistem bagi masyarakat di wilayah sekitar. Secara khusus, peningkatan pengetahuan tentang pohon juga penting untuk mengembangkan program yang mempromosikan agroforestri, yang memainkan peran lingkungan dan sosial ekonomi utama di daerah kering.
“Karena itu, kami juga tertarik menggunakan satelit untuk menentukan spesies pohon, karena jenis pohon sangat penting dalam kaitannya dengan nilainya bagi penduduk lokal yang menggunakan sumber daya kayu sebagai bagian dari mata pencaharian mereka,” ucap Profesor Rasmus Fensholt dari Departemen Geosains dan Sumber Daya Alam Pengelolaan.
Menurut mereka, berdasarkan pengenalan bentuk pohon, model dapat secara otomatis diidentifikasi dan dipetakan bagaimana jenis pohon di area luas itu, meskipun membutuhkan waktu berjam-jam.
“Teknologi ini memiliki potensi yang sangat besar dalam hal mendokumentasikan perubahan dalam skala global dan pada akhirnya, dalam berkontribusi terhadap tujuan iklim global. Kami termotivasi untuk mengembangkan jenis kecerdasan buatan yang bermanfaat ini," kata profesor dan rekan penulis Christian Igel dari Departemen Ilmu Komputer.