REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama satu dekade terakhir, para ilmuwan telah menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi jenis penyakit berdasarkan suara. Ilmuwan bisa menginditifikasi berbagai macam kondisi, termasuk demensia, depresi, gangguan spektrum autisme, dan bahkan penyakit jantung dari suara.
Banyak yang bermimpi untuk menerapkan teknologi ini secara lebih luas. Ilmuwan bisa memanfaatkan mikrofon yang ada di mana-mana dalam produk konsumen untuk mengidentifikasi penyakit dan gangguan.
Sistem ini suatu hari nanti dapat memungkinkan ahli epidemiologi menggunakan ponsel cerdas untuk melacak penyebaran penyakit, dan mengubah speaker pintar menjadi perangkat medis di rumah.
“Di masa mendatang, robot Anda, Siri Anda, Alexa Anda hanya akan berkata, 'Oh, Anda sedang flu,'” kata Björn Schuller, seorang spesialis dalam pengenalan ucapan dan emosi dengan posisi bersama di University of Augsburg di Jerman dan Imperial College London, yang memimpin salah satu studi COVID-19.
Namun analisis vokal otomatis masih merupakan bidang baru, dan memiliki sejumlah potensi kesalahan. Mulai dari diagnosis yang salah hingga pelanggaran privasi pribadi dan medis. Banyak studi kecil dan bersifat pendahuluan, serta beralih dari bukti konsep ke produk tidak akan mudah.
Beberapa penyakit menyebabkan distorsi vokal yang jelas. Banyak ilmuwan berpikir bahwa analisis vokal dapat membantu mengidentifikasi berbagai macam gangguan, berkat kerumitan bicara manusia.
Berbicara membutuhkan koordinasi berbagai struktur dan sistem anatomi. Paru-paru mengirimkan udara melalui pita suara, yang menghasilkan suara yang dibentuk oleh lidah, bibir, dan rongga hidung.
Otak, bersama dengan bagian lain dari sistem saraf, membantu mengatur semua proses ini dan menentukan kata-kata yang diucapkan seseorang. Penyakit yang memengaruhi salah satu dari sistem ini mungkin meninggalkan petunjuk diagnostik dalam cara seseorang berbicara.
Pembelajaran mesin telah memberi para ilmuwan cara untuk mendeteksi masalah dengan cepat dan dalam skala besar. Para peneliti sekarang dapat memasukkan ratusan atau ribuan sampel suara ke dalam komputer untuk mencari fitur yang membedakan orang dengan berbagai kondisi medis dari mereka yang tidak memilikinya.
Lebih dari satu dekade lalu, Max Little, seorang peneliti dalam pembelajaran mesin dan pemrosesan sinyal yang sekarang berada di Universitas Birmingham, Inggris, mulai menyelidiki apakah analisis suara dapat membantu dokter membuat diagnosis yang sulit. Dalam sebuah penelitian, Little dan koleganya menggunakan rekaman audio dari 43 orang dewasa, 33 di antaranya menderita penyakit Parkinson, mengucapkan suku kata "ahhh".
Tim Little menggunakan algoritme pemrosesan ucapan untuk menganalisis 132 fitur akustik dari setiap rekaman. Akhirnya, tim mengidentifikasi 10 karakteristik, seperti bernapas dan getaran getaran dalam nada dan nada suara, yang tampaknya paling prediktif dari Parkinson.
Hanya dengan menggunakan 10 fitur ini, sistem dapat mengidentifikasi sampel ucapan yang berasal dari penderita penyakit dengan akurasi hampir 99 persen.
Fitur vokal tertentu menunjukkan adanya korelasi dengan keparahan gejala Parkinson. Sistem tersebut belum cukup kuat untuk penggunaan rutin dalam praktik klinis, tetapi ada banyak aplikasi potensial.
Pasien dapat menggunakan teknologi di rumah dalam bentuk aplikasi ponsel pintar untuk melacak gejala mereka sendiri dan memantau respons mereka terhadap pengobatan. Para peneliti sekarang bekerja untuk mengidentifikasi biomarker berbasis wicara untuk jenis penyakit neurodegeneratif lainnya.