Senin 28 Sep 2020 16:35 WIB

Warga Heboh Soal Fenomena Halo Matahari, Ini Kata Pakar

Halo matahari terbentuk jika di langit ada awan cirrostratus yang tipis.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Warga mengabadikan fenomena Halo Matahari berbentuk cincin terlihat di atas langit kota Lhokseumawe, Aceh, , Kamis (30/3).
Foto: Antara/Rahmad
Warga mengabadikan fenomena Halo Matahari berbentuk cincin terlihat di atas langit kota Lhokseumawe, Aceh, , Kamis (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Pada Ahad (27/9) wilayah Jember dan Banyuwangi dihebohkan oleh fenomena Halo Matahari. Masyarakat membanjiri media sosial dengan unggahan gambar dan video Halo Matahari. Beredar kabar, fenomena Halo Matahari merupakan tanda akan terjadi bencana.

Pakar Iklim Universitas Gajah Mada (UGM), Emilya Nurjani mengatakan fenomena Halo Matahari adalah fenomena berbentuk cincin cahaya yang mengelilingi dan memanjang keluar dari matahari atau bulan. Fenomena itu terbentuk jika di langit ada awan cirrostratus yang tipis.

Baca Juga

“Halo terbentuk jika di langit ada awan cirrostratus yang tipis seperti lembaran, tinggi, dan menutupi seluruh langit,” kata Emilya saat dikonfirmasi pada Senin (28/9).

Awan tersebut sangat tipis sehingga bulan dan matahari tetap terlihat jelas walaupun ada awan ini. Kandungan awan ini yaitu kristel es yang membelokkan cahaya dari radiasi matahari yang melewatinya. Pembelokan cahaya ini menghasilkan lingkaran cahaya seperti cincin.

Emilya menjelaskan cukup banyak wilayah di Indonesia yang pernah mengalami peristiwa Halo. Termasuk di bumi belahan utara ataupun selatan, baik malam maupun siang.

“Fenomena Halo merupakan fenomena langit yang biasa atau fenomena optis matahari dan awan,” ujar dia.

Dia menyebut ada dua bentuk Halo yaitu 22 derajat dan 46 derajat. Ini tergantung bentuk kolom kristal es yang terdapat di awan cirrostratus. Menurut Emil fenomena ini biasanya digunakan untuk memprediksi hujan atau salju dalam 12 hingga 24 jam. Terutama jika fenomena ini diikuti oleh kemunculan awan-awan kelas menengah lainnya, yakni altostratus atau altocumulus.

Walaupun awan ini mengandung kristal es, pada saat jatuh sebagai salah satu bentuk presipitasi di daerah tropis, biasanya berbentuk hujan. Ini disebabkan suhu yang panas di permukaan daerah tropis mencairkan kristal es.

“Namun, kondisi ini akan berbeda jika turun di daerah subtropis atau kutub yg bersuhu dingin atau rendah, maka bentuk presipitasi yang turun tetap sebagai kristal es,” ucap dia.

Berdasarkan dari beberapa sumber, sampai saat ini belum ada metode untuk memprediksi Halo Matahari. Sebab fenomena ini merupakan penanda adanya cirrostratus, karena awan ini sangat tipis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement