REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mutasi baru pada virus corona telah menciptakan jenis virus yang kini paling dominan di seluruh dunia. Dialah menyebabkan wabah menyebar lebih cepat ke seantero Bumi.
Menurut Profesor Nick Loman dari University of Birmingham, yang merupakan bagian dari Konsorsium Genomics Covid-19, mutasi yang dikenal sebagai D614G tersebut mampu membentuk klaster penularan lebih cepat di Inggris daripada virus aslinya dari Wuhan. Ia menjelaskan, mutasi terjadi dalam protein lonjakan (spike protein), yang merupakan pintu masuk virus corona ke dalam sel tubuh manusia.
"Kami telah memerhatikan di Inggris dan di seluruh dunia bahwa frekuensi mutasi ini telah meningkat," kata Loman dilansir New York Post, Kamis (23/7).
Mutasi ini pertama kali diprediksi oleh pemodelan komputer guna mengetahui dampak pada struktur protein itu dan kemampuan virus untuk mengikat dan memasuki sel. Belum lama ini ditunjukkan dalam percobaan laboratorium untuk meningkatkan infektivitas sel.
Menurut Loman, para ilmuwan sampai pada kesimpulan tersebut setelah menganalisis lebih dari 40 ribu genom di Inggris. Namun, mutasi baru itu tidak diyakini menyebabkan risiko kematian yang lebih besar atau masa opname yang lebih lama.
Loman menyebut, mutasi itu adalah mutasi yang paling dominan, sekitar 75 persen kasusnya. Ia mengungkap bahwa peningkatan mutasi ini adalah fenomena di seluruh dunia.
"Virus asli dari Wuhan memiliki tipe-D, tetapi tipe-G telah menjadi jauh lebih dominan di seluruh dunia, termasuk di Inggris." jelasnya.
Strain tersebut, menurut perkiraan Loman tidak berdampak pada proses menemukan vaksin untuk Covid-19. Dia juga berusaha untuk meredakan kekhawatiran bahwa mutasi tersebut mungkin menandakan fase baru yang mematikan terkait virus corona.
"Kami pikir dampaknya kecil dan kami tidak sepenuhnya yakin tentang hal itu, tetapi kami menemukan dengan menguji apa yang terjadi di Inggris bahwa virus yang mengandung mutasi tipe-G tampaknya membentuk klaster kasus dengan lebih cepat dan berakhir menjadi lebih besar dari virus dengan mutasi-D," jelas Loman.
Menurut Loman, para peneliti tidak melihat adanya hubungan yang signifikan antara kelangsungan hidup dan lama rawat inap di rumah sakit dengan mutasi ini, sehingga mereka tidak berpendapat mutasi ini penting dalam mengubah virulensi. Efeknya tampaknya pada penularan.
Spesialis penyakit menular Yale dan ahli imunologi Heidi J Zapata juga mengatakan tidak ada cukup bukti konklusif untuk menyebut virus menjadi lebih menular atau mematikan.
"Saat ini, kami tidak memiliki bukti yang cukup untuk sampai pada kesimpulan tentang virus menjadi lebih berbahaya atau sebaliknya menjadi jinak," kata Zapata.
"Kami hanya tahu bahwa varian tertentu telah menjadi lebih menonjol, seperti strain D614G. Namun, saat ini, bukti kami tentang D614G menunjukkan bahwa itu tidak menyebabkan hasil klinis yang berbeda pada manusia," jelasnya.