Jumat 24 Jul 2020 01:30 WIB

Ilmuwan Temukan Sumber Metana Alami di Antartika

Sejauh ini belum ada bukti kebocoran metana di Antartika terjadi.

Antartika
Foto: EPA
Antartika

REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Sejumlah peneliti menemukan sumber metana alami yang merembes di dasar laut Antartika. Bagi para peneliti, temuan itu dapat jadi petunjuk mengenai keberadaan gas rumah kaca di wilayah kutub selatan Bumi.

Seorang peneliti bidang ekologi kelautan, Andrew Thurber mengetahui rembesan metana aktif itu setelah membaca laporan penelitian yang melihat 'air terjun mikroba' saat penyelaman di Laut Ross pada 2012.

Baca Juga

Mikroba dalam jumlah besar berkerumun membentuk aliran putih seperti air terjun di lautan jadi petunjuk utama adanya metana yang bocor. "Respons pertama saya, wow, dan saya langsung tertarik ingin mengetahui apa artinya temuan ini bagi ilmu pengetahuan," kata Thurber, seorang asisten profesor di Oregon State University.

Para peneliti meyakini metana dalam jumlah besar tersimpan di bawah laut di Antartika. Temuan itu merupakan sumber metana alamiah pertama yang ditemukan di Antartika. Laporan penelitian terkait temuan itu telah diterbitkan di jurnal Proceedings of the Royal Society B.

Sejauh ini belum ada bukti kebocoran metana di Antartika terjadi karena dampak perubahan iklim -- temuan itu jadi kabar baik bagi peneliti yang khawatir pemanasan global dapat menyebabkan lapisan tanah beku/ibun abadi (permafrost) akan mencair dan melepas gas metana ke atmosfer.

Jika metana sampai ke atmosfer, suhu bumi kemungkinan akan cepat memanas. Pasalnya, metana lebih berbahaya dari gas rumah kaca lainnya, misalnya karbon dioksida.

Jumlah metana di atmosfer telah meningkat karena aktivitas manusia dan pengeboran minyak dan gas.

Thurber menyampaikan kumpulan mikroba yang berkerumun dekat rembesan metana sebetulnya mencegah gas rumah kaca itu menguap ke atmosfer. Pasalnya, mikroba mengonsumsi gas tersebut sebelum naik ke permukaan air.

Namun, adanya mikroba tidak dapat jadi jawaban emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sedikitnya, separuh dari metana di atmosfer disebabkan oleh manusia, sementara metana yang ada di lautan hanya menyumbang satu persen dari total gas buang dunia.

Sebagian besar penelitian yang mencari rembesan metana alami hanya fokus pada pengamatan di kedalaman 200-600 meter. Di kedalaman itu, gas metana kemungkinan sulit ditemukan karena telah dikonsumsi oleh "banyaknya mikroba" sebelum gas rumah kaca itu dapat mencapai atmosfer, kata Thurber.

Namun rembesan metana alami yang ditemukan di Antartika berada di kedalaman 10 meter. Artinya, gas rumah kaca itu dapat lebih cepat mencapai permukaan air laut.

"10 meter bukan 600 meter. Metana dapat cepat mencapai atmosfer dan menjadi salah satu pemain penting," kata Thurber.

Thurber menyampaikan hasil kajiannya turut menunjukkan mikroba bergerak lambat di perairan yang dangkal dan dingin. Temuan itu dapat membantu para ilmuwan memahami tingkah laku mikroba dan menjawab pertanyaan mengenai peran mikroba dalam menghentikan rembesan metana di tempat lain sehingga gas itu tidak dapat mencapai atmosfer.

"Kita perlu melihat ini sebagai sistem yang tidak dapat diamati hanya dalam waktu satu hari, jam, bulanan, tetapi butuh waktu bertahun-tahun," terang Thurber. "Seiring berjalannya waktu, temuan ini kemungkinan dapat mempengaruhi prediksi kita mengenai kondisi planet di masa depan," tambah dia.

Seorang ahli ekologi mikroba di National Science Foundation Amerika Serikat, Karla Heidelberg, mengatakan banyaknya rembesan metana yang disebabkan perubahan iklim menyebabkan suhu di lautan jadi lebih hangat dan lapisan es di Antartika mencair.

"Saat banyak lapisan es mencair, rembesan metana itu dapat terbuka dan menyumbang emisi karbon di atmosfer," kata Heidelberg.

Jika rembesan metana di Antartika itu dipengaruhi oleh kegiatan manusia, daerah itu akan jadi "titik kritis" pemanasan global, kata ilmuwan NASA Goddard Space Flight Center, Ben Poulter.

"Apabila struktur rembesan itu tak stabil, maka akan ada metana dalam jumlah besar yang lepas ke atmosfer sehingga sangat berpengaruh pada dampak perubahan iklim," terang Poulter.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement