Senin 20 Apr 2020 14:39 WIB

Ilmuwan Hitung Debu yang Ada di Atmosfer Bumi, Ini Hasilnya

Debu kasar tak kasat mata itu mampu menghangatkan atmosfer seperti efek rumah kaca.

Rep: zainur mahsir ramadhan/ Red: Dwi Murdaningsih
Gurun Sahara. Ilustrasi
Foto: Reuters
Gurun Sahara. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Para ilmuwan menggunakan model iklim untuk memprediksi lintasan iklim. Nyatanya, debu di atmosfer memiliki peran vital dalam sistem iklim yang dapat mempengaruhi pemodelan, baik itu kecepatan, konsekuensi dan titik kritisnya.

Berdasarkan studi terbaru yang mengamati puluhan pengamatan di seluruh dunia menyebutkan, debu di atmosfer Bumi mengandung sekitar 17 juta metrik debu kasar. Bahkan, jumlah tersebut digadang-gadang berbobot empat kali lebih banyak dari simulasi model iklim terakhir.

Baca Juga

"Ketika kami membandingkan hasil kami dengan apa yang diprediksi oleh model iklim saat ini, kami menemukan perbedaan drastis," kata ilmuwan atmosfer dan kelautan University of California Los Angeles, Jasper Kok seperti dilansir sciencealert, Senin (20/4).

Debu kasar tak kasat mata itu dikatakan mampu menghangatkan atmosfer Bumi seperti efek rumah kaca. Secara khusus, bobot keseluruhan debu itu bahkan sama dengan bobot seluruh warga Amerika Serikat jika disatukan.

"Model iklim tercanggih hanya menyumbang 4 juta metrik ton, tetapi hasil kami menunjukkan lebih dari empat kali lipat jumlah itu," tambah Jasper.

Hal tersebut berdampak pada sistem Bumi, utamanya jumlah karbon dioksida yang diserap lautan hingga turunnya volume hujan. Terlebih di daerah tropis.

Bahkan, penangkapan radiasi akan datang di antara Bumi dan Matahari. Di mana hal itu, dapat menyebabkan perubahan sirkulasi atmosfer, yang berpotensi menyebabkan fenomena angin topan dan tingkat parah perubahan iklim.

Tak hanya itu, dengan adanya faktor debu terhadap model iklim saat ini, penelitian itu menyatakan adanya kemungkinan partikel halus dan kasar untuk berkontribusi dalam sistem pemanasan cuaca.

"Model telah menjadi alat yang tak ternilai bagi para ilmuwan," kata ilmuwan atmosfer dan kelautan, dari UCLA Adeyemi Adebiyi.

Lebih lanjut, para peneliti mencontohkan, ketika debu ada di sekitar, udara cenderung bertindak lebih bergejolak, sehingga mampu menjaga debu tersebut tetap di atmosfer lebih lama. Alhasil, memungkinkan debu untuk melakukan perjalanan lebih jauh daripada banyak model lainnya.

Untuk meyakinkan itu, pada 2018 para peneliti juga menemukan bahwa partikel besar debu yang melaju di Sahara dapat menerbangkan angin global ke Karibia, berjarak 3.500 kilometer (2.000 mil). Padahal, potongan debu yang berdiameter 0,45 milimeter itu, memiliki besaran hampir 50 kali lipat dari ukuran lain yang diperkirakan mampu di bawa angin global.

Berbagai kalangan juga mendukung penelitian baru itu. Meskipun nyatanya, tak dilakukan secara langsung.

"Karena partikel debu lebih kasar hadir di atmosfer, itu juga menunjukkan bahwa mereka memiliki masa pakai yang lebih lama daripada yang disimulasikan dalam model global," tulis para penulis.

Namun demikian, ketika saat ini mulai lebih banyak kehadiran model, utamanya debu kasar, hal tersebut membuatnya jatuh keluar dari atmosfer terlalu cepat.

Para peneliti menambahkan, semakin banyak debu yang didorong ke atmosfer maupun yang jatuh ke laut, dapat menyebabkan perubahan besar dalam awan, curah hujan, dan iklim.

"Untuk mewakili dampak debu secara keseluruhan pada sistem Bumi, model iklim harus mencakup perlakuan akurat terhadap debu kasar di atmosfer," kata Adebiyi.

Dia menegaskan, model iklim harus terus diperbarui ketika membahas Planet Bumi. Sebab, hal tersebut akan menjadikannya salah satu aspek yang perlu diperbaiki. Terlebih, dengan adanya informasi terbaru, para peneliti dikatakan lebih siap untuk menentukan masa depan bumi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement