Kamis 16 Apr 2020 13:35 WIB

Kata Covid-19 dan Coronavirus Mudah Diekspoitasi Peretas

Penipu biasanya memasangkan kata Covid-19 dengan kata penyembuhan dan pinjaman.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Qommarria Rostanti
Peretas (Ilustrasi)
Foto: VOA
Peretas (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Kata kunci Covid-19 dan coronavirus menjadi mudah dieksploitasi oleh peretas dan penipu di antara 120 ribu domain terkait dengan wabah itu. Para peretas mencoba menipu para pencari informasi secara tidak sadar.

Dilansir di Nature.com, baru-baru ini, mereka memasangkan Covid-19 dan coronavirus dengan istilah-istilah seperti masker, pinjaman, pengangguran, percobaan, vaksin, dan penyembuhan. Beberapa perusahaan domain telah membatasi kata kunci itu untuk mencegah penipuan, kemudian perusahaan teknologi mengoordinasi penghapusannya. Namun, langkah tersebut tidak cukup.

Pada pertengahan Maret lalu, perusahaan Facebook, Google, LinkedIn, Microsoft, Reddit, Twitter, dan Youtube mengirimkan pernyataan bersama tentang upaya gabungan memerangi informasi salah Covid-19. Sekarang, peneliti dan pembuat kebijakan harus dapat memastikan perusahaan media sosial bisa mengidentifikasi, menerapkan, dan mengevaluasi cara-cara mengurangi penyebaran informasi berbahaya.

Ilmuwan sosial di Sekolah Pemerintah John F Kennedy di Harvard University, Joan Donovan, mengatakan timnya mulai memantau desas-desus potensi penyembuhan virus corona yang beredar di kalangan investor tenkologi di Twitter selama sebulan lalu. Isu tersebut mendapat banyak perhatian. Apalagi setelah pengusaha teknologi Elon Musk berbagi dokumen Google yang diklaim sebagai makalah ilmiah dari orang kedokteran Stanford University di California, AS.

Pembawa acara Tucker Carlson pun pernah menampilkan tulisan dari Google yang mengeklaim bahwa hidroksiklorokuin memiliki angka kesembuhan 100 persen terhadap Covid-19 berdasarkan penelitian kecil di Prancis. Beberapa saat kemudian, pencarian daring untuk kina, air tonik, obat malaria, dan sejenisnya melonjak. Jika ada produk yang bisa didapat, pasti sudah habis terjual.

"Jelas, publik mendengarkan (berita itu)," kata Donovan.

Stanford University mengklarifikasi, dokumen itu tidak berasal orang dari sekolah tersebut. Upaya para dokter dan ilmuwan dengan menggunakan medsos pribadi dalam melawan spekulasi berbahaya itu tak mempan melawan arus informasi di Twitter.

Perdebatan tentang kemanjuran obat itu, menyebabkan kekurangan, keracunan, dan kematian. Perusahaan Twitter lantas melakukan tindakan luar biasa dan menghapus cicitan mengenai hidroksiklorokuin.

Politisasi hidroksiklorokuin yang dipicu antusiasme Presiden AS Trump justru mengejutkan apoteker dan peneliti. Mereka kewalahan memenuhi permintaan.

Tekanan politik terhadap penelitian ilmiah dapat menyebabkan bahaya dari dokter yang meresepkan obat-obatan yang tidak terdaftar atau sedikit pengawasan. Kondisi itu dapat mengesampingkan penelitian utama terhadap Covid-19.

Perlu kurasi pengetahuan dan ilmu pengetahuan untuk mencegah kesalahan informasi. Utamanya, saat krisis publik seperti sekarang.

Menurut Donovan, kurasi yang tepat mengharuskan perusahaan-perusahaan teknologi melibatkan peneliti independen, baik untuk mengidentifikasi potensi manipulasi maupun menyediakan konteks untuk konten otoritatif.

Pada awal April, Donovan menghadiri pertemuan virtual Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama wartawan, peneliti medis, ilmuwan sosial, perusahaan teknologi, dan perwakilan pemerintah. Mereka membahas informasi kesehatan yang keliru. Kolaborasi lintas sektor itu merupakan awal yang meyakinkan dan penting.

"Jika dapat mengatasi informasi keliru kesehatan secara kolaboratif, maka kita akan memiliki model untuk upaya masa depan," ujarnya.

Sebagai peneliti, Donovan berpendapat orang-orang harus menuntut perusahaan teknologi menjadi lebih transparan, akuntabel, dan bermanfaat secara sosial. Pihak terkait harus memegang perusahaan teknologi agar bersedia komitmen dalam menghadapi pandemi ini.

Perusahaan seperti Twitter, Facebook, dan Google News dinilai perlu memperkenalkan standar lebih ketat untuk disinformasi. Mengurasi pengetahuan sama pentingnya dengan memoderasi konten. Perusahaan media sosial harus meratakan kurva kesalahan informasi itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement