REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sedang meneliti kemungkinan penggunaan nanofluida sebagai pengganti air untuk mendinginkan reaktor nuklir dan untuk kegunaan lainnya. Selama ini, reaktor-reaktor nuklir di seluruh dunia menggunakan air sebagai penghantar panas untuk mengurangi energi panas dalam reaktor.
"Awalnya itu untuk mencari konduktivitas thermal fluida yang lebih besar daripada fluida yang ada karena kalau kita menggunakan cara-cara yang konvensional, itu sudah di batasnya, tidak bisa lebih bagus lagi dari saat ini," ujar peneliti metalurgi Batan Dr Dani Gustaman Syarif ketika ditemui di Bandung, Jawa Barat pada Jumat (6/12).
Berbagai cara untuk menyempurnakan pendingin sudah dilakukan seperti memperluas permukaan pipa dan memberi tekanan yang lebih tinggi agar kecepatan air lebih besar, tapi yang paling ekonomis saat ini adalah memperbaiki karakteristik fluida atau cairan pendingin, menurut dia.
Nanofluida sendiri bukanlah hal baru di dunia sains, menurut Dani, karena sudah diperkenalkan sejak 1995. Tapi cairan itu sendiri masih dalam penelitian dan meski sudah digunakan di beberapa sektor seperti otomotif, penggunaannya sendiri masih belum dilakukan secara luas.
Nanofluida sendiri memiliki sifat-sifat baru yang membuatnya berpotensi berguna dalam banyak aplikasi transfer panas, termasuk yang diteliti oleh Dani akan digunakan sebagai pendingin reaktor.
"Jadi di dunia ini belum ada yang pakai apalagi di reaktor. Jadi kita bersaing dengan berbagai peneliti di negara lain untuk bisa secepatnya untuk mengaplikasikan," ujar dia.
Meski memiliki berbagai potensi tapi untuk mencapai sampai ke tingkat aplikasi, diperlukan penelitian lebih lanjut, tegas dia.
Meskipun demikian, nanofluida memiliki potensi yang sangat besar selain untuk pendingin sekunder reaktor nuklir. Cairan itu jika disempurnakan bisa juga dibuat untuk digunakan secara luas oleh masyarakat umum seperti di kendaraan untuk pendingin radiator serta oleh industri yang menggunakan sistem perpindahan panas.