REPUBLIKA.CO.ID, ANTARTIKA -- Tim peneliti berhasil menguak misteri air terjun Blood Falls di Antartika. Air terjun berwarna semerah darah setinggi 100 kaki itu mengalir di sisi gletser salju yang putih sehingga semakin menunjukkan kontrasnya yang tampak tidak lazim.
Blood Falls pertama kali ditemukan oleh penjelajah Australia Griffith Taylor pada ekspedisi tahun 1911. Saat itu, dia dan rekan penjelajahnya mengira warna merah air terjun berasal dari alga yang hidup di dalamnya.
Sejumlah riset berikutnya berhasil mengungkap perairan tersebut berwarna merah karena kaya kandungan besi. Meski para ilmuwan sudah mengetahui proses oksidasi air saat terkena udara, sebelum ini mereka masih belum menemukan sumber dan proses terbentuknya.
Misteri Blood Falls akhirnya dikuak oleh tim yang dipimpin ilmuwan Erin Pettit, yang ternyata bersumber di sebuah danau bawah tanah. Butuh lebih dari 100 tahun bagi para ilmuwan untuk menemukan asal air 'darah' itu.
"Mulanya kami tidak tahu dari mana air asin ini berasal dan bagaimana caranya melewati gletser. Jika air bermula di dasar gletser, seharusnya terus mengalir dari dasarnya," ungkap Pettit, dikutip dari laman Motherboard.
Pettit dan timnya melintasi gletser dan melakukan pengukuran menggunakan sensor gelombang radio. Instrumen mengirimkan getaran radio ke dalam es, memungkinkan para peneliti memetakan di mana persisnya air keluar dari dalam gletser.
Mereka akhirnya mengidentifikasi bahwa tekanan besar es membuat air terperangkap di danau bawah tanah. Tim eksplorasi lanjutan sudah membuktikan hal tersebut dengan melakukan pengeboran di lokasi yang dipetakan, tempat air asin merah menyembur keluar.
Dengan ditemukannya sumber Blood Falls, para ilmuwan bisa melakukan penelitian lebih lanjut tentang ekosistem. Salah satunya, mikroba yang mampu bertahan di air yang sangat asin, sangat dingin, berkadar besi tinggi, dan tanpa sinar matahari di bawah gletser.