REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Transisi pengguna ponsel dari 2G menuju 4G di Indonesia dinilai belum maksimal. Menurut Pengamat Telekomunikasi dari Mastel Institute, Nonot Harsono, hingga saat ini di daerah luar Jawa masih banyak pengguna koneksi 2G.
Nonot mengatakan, kemajuan seluler 2G menjadi 4G membutuhkan waktu minimal lima tahun untuk memudahkan migrasi dengan memaksimalkan ketersediaan gadget terjangkau bagi kelas menengah ke bawah. "Sekitar 50 persen masyarakat masih menggunakan layanan 2G untuk voice dan sms aja. Segmen masyarakat kita pelajar, mahasiswa, pedagang, kaki lima," ujar Nonot dalam diskusi 'Memaksimalkan Utilisasi 4G melalui keterjangkauan perangkat' di Bandung Jawa Barat, Rabu (30/9).
Menurut Nonot, suplay layanan 4G sampai saat ini masih kecil. Ditambah dengan rendahnya daya beli masyarakat dan kesadaran butuhnya koneksi 4G untuk kebutuhan, sampai saat ini belum merata.
Masyarakat, kata dia, memerlukan simulus kongkrit dalam peningkatan kebutuhannya dengan penggunaan 4G. Misalnya, alat bantu menjalankan bisnis dengan membuat program pembinaan e-UKM disertakan pelatihan literasi teknologi dan subsidi gadget.
"Kira-kira siapa yang butuh internet? Cocok bagi masyarakat yang mana?. Saya kira yang generasi muda. Jangan-jangan orang Indonesia sebagian besar belum butuh itu, yang penting bisa komunikasi verbal," katanya.
Nonot menilai, fenomena penggunaan gadget di kalangan muda juga turut mengkhawatirkan. Seharusnya, penggunaan perangkat ini di kalangan muda jadi pemicu kemajuan penggunaan 4G, bukan dampak negatif.
"Di era online ini, pengguna di usia yang muda maunya Hing End, yang middle aja malu. Lalu lintas data cenderung hiburan, belum lagi ada yang merasa gaptek dan enggan mencoba hal yang baru," katanya.
Untuk mempercepat migrasi itu, kata Nonot, ketegasan pemerintah sangat diperlukan dengan membuat regulasi untuk mengentikan pemakaian frekuensi 2G. "Yang daerah itu hanya betul 2G saja, walaupun beli smartphone, kalau BTS nya 2G, ya sinyalnya 2G. Yang Jawa saja yang ramai (4G)," katanya.